Senin 02 Sep 2024 09:27 WIB

Wacana Subsidi KRL Berbasis NIK, Fraksi PKS: Jangan Diskriminatif

Banyak masyarakat yang bergantung pada KRL untuk perjalanan sehari-hari.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Ahmad Fikri Noor
Sejumlah penumpang kereta rel listrik (KRL) Commuterline Jabodetabek berjalan keluar dari gerbong usai tiba di Stasiun Jakarta Kota, Jakarta, Jumat (12/4/2024).
Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Sejumlah penumpang kereta rel listrik (KRL) Commuterline Jabodetabek berjalan keluar dari gerbong usai tiba di Stasiun Jakarta Kota, Jakarta, Jumat (12/4/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi V DPR dari Fraksi PKS Sigit Sosiantomo meminta pemerintah menunda dan mengkaji ulang pemberlakuan subsidi atau Public Service Obligation (PSO) Kereta Rel Listrik (KRL) berbasis NIK pada 2025. Selain mendapat penolakan dari komunitas pengguna KRL, pemberian subsidi KRL berbasis NIK juga dinilai diskriminatif dan tidak pro-rakyat.

Sigit menyebut PSO pada KRL adalah amanat UU nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian untuk menjamin tarif yang terjangkau bagi masyarakat. Sebagai bentuk pelayanan publik, pemberian subsidi KRL juga seharusnya mengedepan prinsip kesamaan hak.

Baca Juga

"Tidak boleh diskriminatif. Jika subsidi diberlakukan berdasarkan NIK, artinya sudah ada tindakan diskriminatif dalam pemberian layanan publik," ujar Sigit dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (2/9/2024).

Selain diskriminatif, Sigit juga menilai rencana pemerintah membelakukan subsidi KRL berbasis NIK sebagai kebijakan yang tidak pro-rakyat. Skema baru pemberian PSO itu, ucap Sigit, justru dapat berisiko menambah beban ekonomi bagi masyarakat pengguna KRL yang tidak memilik akses subsidi, terutama kelas menengah-bawah.

Menurut Sigit, rakyat berhak mendapatkan transportasi yang murah dan nyaman sesuai dengan amanat UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Sigit menyebut banyak masyarakat yang bergantung pada KRL untuk perjalanan sehari-hari, terutama untuk bekerja.

"Mereka rata-rata kelompok menengah ke bawah. Kalau orang kaya, tentu lebih memilih mobil pribadi daripada KRL karena jauh lebih nyaman," ucap Sigit.

Sigit mengatakan pembatasan subsidi dengan NIK yang berujung kenaikan tarif KRL semakin membebani masyarakat. Dengan menurunnya daya beli masyarakat dan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025, Sigit menilai PSO seharusnya ditambah, bukan malah dibatasi. Sigit meminta pemerinta menunda dan meninjau ulang kebijakan PSO KRL berbasis NIK.

"Kebijakan subsidi KRL harus lebih prorakyat karena masyarakat berhak mendapatkan transportasi yang murah dan nyaman," kata Sigit.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement