Rabu 04 Sep 2024 18:42 WIB

Kuliah Umum, Ketua LKKS Muhammadiyah Paparkan Moderasi Beragama di Era AI

Kuliah umum di UIN Salatiga ini bertema 'Moderasi Beragama di Era AI'.

Stafsus Mensesneg RI, Dr Fajar Riza Ulhaq, menyampaikan pemaparan di UIN Salatiga, Rabu (4/9/2024).
Foto: dok ist
Stafsus Mensesneg RI, Dr Fajar Riza Ulhaq, menyampaikan pemaparan di UIN Salatiga, Rabu (4/9/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, SALATIGA -- Keseharian masyarakat pada masa kini tidak terlepas dari penggunaan gawai (gadget). Melalui internet, publik menerima bukan hanya banjir informasi, melainkan juga canggihnya kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).

Hal itu disampaikan Ketua Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis (LKKS) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr Fajar Riza Ulhaq dalam acara penyambutan mahasiswa baru di Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga, Kota Salatiga, Jawa Tengah. Menurut dia, fenomena media sosial dan AI di jagat internet menimbulkan tantangan, termasuk untuk syiar moderasi beragama.

Baca Juga

Artificial intelligence atau kecerdasan buatan kita jumpai sejak memakai handphone. Ketika kita mengetik di Google, biasanya akan muncul kata prediksi. kita memilih apa selanjutnya (yang ditampilkan sebagai prediksi --Red)," ujar Fajar Riza Ulhaq, seperti dikutip Republika dari keterangan tertulis, Rabu (4/9/2024).

Menurut Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) itu, kecanggihan teknologi masa kini mesti disikapi secara bijaksana. Ia mengingatkan, bangsa Indonesia sejatinya memiliki "DNA tengahan."

Sebagaimana dicontohkan oleh para bapak bangsa dalam merumuskan dan memutuskan Pancasila sebagai dasar negara, watak moderat itu tetap unggul. Walau masing-masing mereka membawa pemikiran dari kelompok sendiri-sendiri, pada akhirnya dapat tercipta konsensus.

“'DNA bangsa' ini tengahan, washatiyyah. Tidak mengambil ideologi agama. Tidak mengambil ideologi sekuler. Bangsa lain mengagumi karena Indonesia DNA-nya washatiyah," tegas Fajar

Ia mengatakan, ada lima Indikator dalam moderasi beragama. Pertama, komitmen kebangsaan. Apa pun agama yang dianut warga Indonesia, mereka tidak akan mempersoalkan asas kebangsaan.

Kedua, toleransi yang tinggi. Sebagai agama yang dipeluk mayoritas orang Indonesia, Islam bisa berkembang dan diterima luas secara damai. Sebab, ajarannya menebarkan pentingnya toleransi (tasamuh).

"Karena cara beragama secara ekstrem, akan memicu benturan. Masing-masing agama di Indonesia, maka dari itu, perlu melakukan upaya moderasi agar tidak terjadi benturan," sebut dia.

Ketiga, menghargai tradisi. Islam berkembang baik karena menerima tradisi yang membawa maslahat, serta menolak yang mafsadat.

Keempat, menjauhi perilaku kekerasan. Termasuk dalam hal ini, menghindari praktik-praktik perundungan (bullying). Menurut Fajar, bullying sebagai bagian dari kekerasan adalah musuh pendidikan.

Terakhir, menerima modernitas atau kemajuan. Tradisi dan modernitas harus seiring dan sejalan, tidak perlu dipertentangkan. Sebab, umat manusia sudah semestinya berorientasi ke depan.

Dalam kesempatan yang sama, Rektor UIN Salatiga Prof. Zakiyudin Baidhawi menyampaikan, kampus ini mengusung branding "Green Washatiyyah." Karena itu, seluruh mahasiswa dan alumni UIN Salatiga diharapkan senantiasa menjalani kehidupan dengan keseimbangan.

Pada tahun ajaran 2024/2025 UIN Salatiga menerima mahasiswa baru untuk studi sarjana, magister, dan doktoral berjumlah 2.555 orang. Kampus ini juga menerima mahasiswa non-Muslim. Selain itu juga, tercatat sebanyak 36 mahasiswa asing dari 15 negera.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement