Senin 16 Sep 2024 17:03 WIB

PPN Bakal Naik Jadi 12 Persen, Pengamat Nilai Kebijakan Moneter Mestinya Dilonggarkan

Perekonomian yang mengalami tekanan akan menimbulkan perlambatan.

Rep: Eva Rianti/ Red: Ahmad Fikri Noor
Petugas memberikan uang kepada warga yang melakukan penukaran uang rupiah.
Foto: Republika/Prayogi
Petugas memberikan uang kepada warga yang melakukan penukaran uang rupiah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat Ekonomi Piter Abdullah mengkritik kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen per 1 Januari 2025 mendatang. Ia memberi catatan agar regulator tidak sekedar fokus menaikkan PPN untuk meningkatkan pendapatan negara, tetapi juga melakukan pelonggaran kebijakan moneter, agar kondisi perekonomian masyarakat tidak makin tertekan.

“Sekarang ini kan kita lihat terjadi penurunan daya beli, konsumsi tertekan, penjualan ritel turun, PMI (indeks manajer pembelian) turun, ini menunjukkan ada gangguan di dalam perekonomian dari sisi demand,” kata Piter kepada Republika, Senin (16/9/2024).

Baca Juga

Piter menjelaskan, jika PPN dinaikkan dari 11 persen menjadi 12 persen pada tahun depan, secara otomatis akan memengaruhi kenaikan harga di sektor riil. Di saat harga-harga naik, sementara kondisi daya beli masyarakat lemah, otomatis pula konsumsi akan menurun, yang kemudian berimbas pula pada penurunan investasi.

Perekonomian yang mengalami tekanan akan menimbulkan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Fatalnya, dampak terburuk atas kondisi itu adalah terjadinya resesi.

“Maka yang harus dilakukan adalah bagaimana memperbaiki ini, karena kebijakan kan enggak cuma satu, kebijakan ada banyak,” ujar dia.

Menurut pendapatnya, kebijakan yang bisa disoroti adalah mengenai adanya pengetatan moneter yang mestinya dilonggarkan. Tingkat suku bunga yang tinggi dianggap harus dilonggarkan. Hal itu penting, agar tidak terjadi pengetatan yang berlebihan dari berbagai arah terhadap kondisi perekonomian yang melemah saat ini.

“Jadi kalau fiskal sama moneter dua-duanya melakukan pengetatan ya kasian perekonomiannya. Akan mengalami penyusutan atau pertumbuhan ekonomi akan turun, atau bahkan mengalami kontraksi. Jadi harus balancing kebijakannya, kalau ada yang diketatkan seharusnya ada yang dilonggarkan,” jelasnya.

Lebih lanjut, Piter mengatakan, Bank Indonesia (BI) semestinya melakukan pelonggaran kebijakan karena sekarang tidak hanya suku bunga yang tinggi tetapi juga dilakukan pengetatan kredit dengan penarikan likuiditas.

Menurutnya, BI semestinya melihat tanda-tanda bahwa perekonomian memang kian melemah dengan berbagai bukti. Seperti kondisi deflasi yang berlangsung empat bulan berturut-turut, menunjukkan terjadinya pelemahan atau terganggunya sisi demand.

“Kebijakan BI sebenarnya lebih menyasar ke nilai tukar, nilai tukarnya kan sekarang ini tekanannya sudah turun. Artinya sudah tidak ada alasan bagi BI untuk terus-menerus mempertahankan kebijakan yang sangat ketat tersebut (suku bunga tinggi). Ketika pemerintah melakukan kebijakan ini (kenaikan pajak) juga ketat, sekarang BI punya ruang melakukan pelonggaran,” terangnya.

Di sisi lain, Piter menekankan agar kebijakan fiskal dalam praktiknya nanti harus diikuti dengan pemanfaatan APBN yang lebih tepat. Bagaimanapun, tujuan peningkatan pajak atau PPN 12 persen adalah untuk menjaga keseimbangan di APBN.

“Ini kan ujungnya dalam rangka menjaga keseimbangan di APBN, penerimaan dinaikkan, tetapi harus kembali ke perekonomian itu sendiri. Jadi kebijakan ketat dengan menaikkan pajak harus diikuti dengan pembalikan yaitu dengan kebijakan injeksi ekspansi fiskal yang cukup,” tegasnya. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement