REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Literasi keuangan Syariah di Indonesia ternyata masih rendah. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia Rifki Ismal dalam Simposium Keuangan dan Ekonomi Syariah yang digelar Forum Jurnalis Wakaf dan Zakat Indonesia (Forjukafi) di Hotel Kartika Chandra Jakarta, Kamis (26/9/2024).
"Literasi Keuangan Syariah: Survei Bank Indonesia tahun 2022 menunjukkan bahwa hanya 28 persen masyarakat yang memahami ekonomi keuangan syariah. Sebagian besar yang paham adalah dosen dan pegawai negeri sipil (PNS), sementara pegawai non-PNS memiliki tingkat pemahaman yang rendah," ujar Rifki.
Rifki juga menjelaskan, ada variasi pemahaman yang berbeda di setiap provinsi. Pemahaman tentang keuangan syariah bervariasi di antara 38 provinsi di Indonesia.
"Provinsi dengan mayoritas penduduk Muslim dan banyak pesantren atau ulama cenderung memiliki literasi yang lebih tinggi." ujar Rifki.
Karenanya, Rifki mengajak semua pihak untuk mulai menyasar pemahaman keuangan syariah yang tepat sasaran.
Sebab meskipun ada kemajuan dalam pemahaman keuangan syariah di Indonesia, masih terdapat tantangan signifikan dalam meningkatkan literasi di kalangan masyarakat, terutama adi kalangan pegawai non-PNS dan di provinsi dengan tingkat keislaman yang lebih rendah.
"Upaya kolaboratif antara berbagai pihak, termasuk jurnalis, diperlukan untuk meningkatkan pemahaman dan partisipasi masyarakat dalam ekonomi keuangan syariah," katanya.
Rifki menuturkan, terkait potensi ekonomi syariah di Indonesia, Rifki menuturkan bahwa ekonomi Syariah Indonesia berada di nomor tiga setelah Malaysia dan Arab Saudi.
Sayangnya potensi ini tidak dibarengi dengan tingginya literasi ekonomi syariah di Indonesia. Karenanya Rifki mengajak semua pihak untuk terus menggenjot pengembangan ekonomi syariah baik dari segi inklusi maupun literasinya.