REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Serangan Israel di Jalur Gaza adalah salah satu agresi yang paling banyak memakan korban warga sipil. Diperkirakan lebih dari separuh yang syahid adalah perempuan dan anak-anak. Mengapa militer Israel demikian brutal.
Hingga 4 Oktober 2024, jumlah syuhada mencapai 41.700 orang, termasuk lebih dari 11.355 anak-anak, 6.297 perempuan, dan 2.955 lansia. Jumlah orang hilang mencapai sekitar 10.000 orang, sementara sekitar 96.625 warga terluka, banyak diantaranya menderita trauma parah dan kondisi yang mengancam jiwa.
Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) melaporkan lebih dari 70.000 unit rumah hancur, menyebabkan sekitar 1,9 juta orang mengungsi. Sementara 60 persen dari total perumahan di wilayah tersebut rusak.
Menurut Paul Rogers, profesor emeritus studi perdamaian di Universitas Bradford mengungkapkan dalam tulisannya di the Guardian, penghancuran oleh Israel ini berkaitan dengan cara perang khusus Israel yang disebut Doktrin Dahiya. Konsep itu konon berasal dari perang tahun 2006 di Lebanon.
Pada bulan Juli tahun itu, menghadapi serangan roket yang ditembakkan dari Lebanon selatan oleh milisi Hizbullah, IDF melancarkan perang udara dan darat yang intens. Tidak ada yang berhasil, dan perang darat memakan banyak korban. Namun arti penting perang terletak pada sifat serangan udaranya. Seperti saat ini, serangan tersebut tidak hanya diarahkan pada pusat kekuatan Hizbullah di wilayah Dahiya, di pinggiran selatan Beirut, tetapi juga pada infrastruktur ekonomi Lebanon.
Hal ini merupakan penggunaan “kekuatan yang tidak proporsional” secara sengaja, seperti penghancuran seluruh desa, jika dianggap sebagai sumber tembakan roket. Salah satu gambaran jelas mengenai dampaknya adalah saat itu sekitar seribu warga sipil Lebanon terbunuh, sepertiga dari mereka adalah anak-anak. Kota-kota dan desa-desa menjadi puing-puing; jembatan, instalasi pengolahan limbah, fasilitas pelabuhan dan pembangkit listrik lumpuh atau hancur.
Dua tahun setelah perang tersebut, Institut Studi Keamanan Nasional di Universitas Tel Aviv menerbitkan laporan Disproportionate Force: Israel’s Concept of Response in Light of the Second Lebanon War. Ditulis oleh Kolonel Gabi Siboni dari tentara cadangan IDF, artikel ini mempromosikan doktrin Dahiya sebagai langkah maju dalam menanggapi serangan paramiliter.
Kepala pasukan militer Israel di Lebanon selama perang, dan pengawas doktrin tersebut, adalah Jenderal Gadi Eizenkot. Dia kemudian menjadi kepala staf umum IDF, pensiun pada tahun 2019, tetapi diangkat kembali sebagai penasihat kabinet perang Netanyahu pada bulan Oktober 2023.
Makalah Siboni untuk institut tersebut memperjelas bahwa doktrin Dahiya lebih dari sekadar mengalahkan lawan dalam konflik singkat, namun harus memiliki dampak yang benar-benar bertahan lama. Yang dimaksud dengan kekuatan yang tidak proporsional adalah, meluas hingga kehancuran perekonomian dan infrastruktur negara yang mengakibatkan banyak korban sipil, dengan tujuan mencapai dampak pencegahan yang berkelanjutan.
Doktrin tersebut telah digunakan di Gaza dalam empat perang sebelumnya sejak tahun 2008, khususnya perang 2014. Dalam empat perang tersebut, IDF membunuh sekitar 5.000 warga Palestina, sebagian besar warga sipil, karena hilangnya 350 tentara mereka sendiri dan sekitar 30 warga sipil.
Pada perang 2014, pembangkit listrik utama Gaza rusak akibat serangan IDF dan setengah dari populasi Gaza yang saat itu berjumlah 1,8 juta orang terkena dampak kekurangan air, ratusan ribu orang kekurangan listrik, dan limbah mentah membanjiri jalan-jalan.
Bahkan sebelumnya, setelah perang Gaza tahun 2008-9, PBB menerbitkan laporan pencarian fakta yang menyimpulkan bahwa strategi Israel “dirancang untuk menghukum, mempermalukan dan meneror penduduk sipil”.
Tujuan langsung Israel, yang mungkin membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk dicapai, tampaknya adalah melenyapkan Hamas sambil mengumpulkan warga Palestina ke dalam zona kecil di barat daya Gaza di mana mereka dapat lebih mudah dikendalikan. Tujuan jangka panjangnya adalah untuk memperjelas bahwa Israel tidak akan membiarkan perlawanan apa pun.
Angkatan bersenjatanya akan mempertahankan kekuatan yang cukup untuk mengendalikan perjuangan kemerdekaan dan, didukung oleh kemampuan nuklirnya yang kuat, tidak akan membiarkan negara regional mana pun menimbulkan ancaman.
Bagaimanapun, menurut Paul Rogers, strategi itu akan gagal. Perlawanan Palestina akan muncul dalam bentuk yang berbeda atau menjadi lebih kuat.