Kamis 10 Oct 2024 12:48 WIB

Deflasi Beruntun, Anis: Situasi tidak Lazim 

Kondisi perekonomian Indonesia mengalami tekanan yang tidak biasa.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Gita Amanda
Pedagang melayani calon pembeli di PD Pasar Jaya Jatinegara, Jakarta, (ilustrasi). Kondisi perekonomian Indonesia mengalami tekanan yang tidak biasa.
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Pedagang melayani calon pembeli di PD Pasar Jaya Jatinegara, Jakarta, (ilustrasi). Kondisi perekonomian Indonesia mengalami tekanan yang tidak biasa.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan Anis Byarwati menyoroti deflasi 0,12 persen pada September 2024. Anis menyebut hal ini merupakan deflasi kelima berturut-turut selama 2024.  

"Situasi ini tidak lazim, sekaligus menandakan kondisi perekonomian Indonesia mengalami tekanan yang tidak biasa," ujar Anis dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (10/10/2024).

 

Anggota Komisi XI DPR periode 2019-2024 itu mengambarkan deflasi berturut-turut pertama kali terjadi pada Mei 2024 sebesar 0,03 persen (mtm). Lalu di Juni menyentuh 0,08 persen dan tak lebih baik pada Juli dengan 0,18 persen. 

 

Anis mengatakan deflasi kemudian mulai membaik pada Agustus yakni kembali ke level 0,03 persen. Namun, deflasi kembali memburuk pada September 2024 terlihat lebih dalam 0,12 persen, merupakan deflasi kelima pada 2024 secara bulanan.

 

Menurut Anis, jika diamati lebih dalam, dalam lima bulan terakhir deflasi terjadi diikuti dengan perlambatan indikator-indikator makro ekonomi yang terjadi. Anis menilai deflasi ini menunjukkan terjadi penurunan daya beli di masyarakat. 

 

"Penurunan daya beli ini terjadi karena adanya fenomena penurunan jumlah middle class income, selain itu penutupan pabrik di sektor industri manufaktur membuat gelombang PHK. Sehingga menyebabkan banyak masyarakat yang kemudian menahan konsumsinya," lanjut Anis. 

 

Anis juga menyebut fenomena deflasi ini perlu dikaji dari dua sudut pandang ekonomi, yaitu sisi demand (permintaan) dan sisi supply (penawaran), sehingga bisa terlihat fenomena deflasi terhadap perekonomian nasional yang terjadi dalam lima bulan terakhir.

 

Menurut Anis, terjadinya perlambatan ekonomi global bisa menjadi pemicu turunnya permintaan konsumen (consumer demand) secara global, termasuk Indonesia. "Turunnya permintaan konsumen dapat terlihat dari pertumbuhan kredit terutama kredit UMKM. Sampai pertengahan 2024, kredit perbankan tumbuh 12,36 persen (yoy)," ucap Anis. 

 

Anis menyampaikan pertumbuhan kredit perbankan tersebut, banyak ditopang oleh kredit usaha besar (korporasi), tumbuh 15,89 persen (yoy). Sayangnya, pertumbuhan kredit korporasi tidak mengalir ke sektor UMKM hanya tumbuh 5,68 persen (yoy). 

 

"Begitu pula dengan sektor ekonomi yang banyak menyerap tenaga kerja seperti industri 9,94 persen (yoy) dan perdagangan 9,87 persen (yoy)," sambung Anis. 

 

Anis menyebut, dari sisi dunia usaha terlihat bahwa, indikatior dunia usaha juga menunjukkan tekanan, yaitu dari data Purchase Managers' Index (PMI), yang menjadi gambaran kondisi bisnis di sektor produksi barang. Sejak April 2024, PMI terus mengalami penurunan, dan bahkan sejak bulan Juli 2024 mengalami kontraksi, yaitu indikator PMI yang turun di bawah 50. 

 

"Indeks PMI Indonesia megalami kontraksi, berada pada zona merah atau tidak ada perubahan dibawah angka 50,0 selama tiga bulan berturut-turut, hingga September 2024," sambung Anis. 

 

Anis menyampaikan indikator-indikator ekonomi dan keuangan tersebut, menunjukkan perekonomian Indonesia sedang mengalami tekanan yang tidak ringan, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan daya beli masyarakat. Anis mendorong pemerintah dan BI perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk menggairahkan kembali perekonomian. Salah satunya mempertimbangkan kembali kenaikan PPN sebesar 12 persen pada 2025 dan kembali menurunkan tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia lebih rendah.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement