Kamis 17 Oct 2024 17:00 WIB

BMKG Dorong Penggunaan Kendaraan Listrik untuk Atasi Polusi Udara

Pemerintah diharapkan dapat bersikap tegas untuk mengendalikan polusi udara.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Kendaraan terjebak kemacetan di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin (13/10/2024).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Kendaraan terjebak kemacetan di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin (13/10/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mendesak pemerintah dan masyarakat untuk lebih serius dalam mengatasi masalah polusi udara. Sekretaris Utama BMKG Dwi Budi mengatakan, generasi muda memiliki peran penting sebagai agen perubahan dalam mengatasi masalah ini.

"Generasi muda harus berpikir global dan bertindak lokal. Minimal berpikir tindakan kecil, seperti memilih kendaraan listrik, dapat memberikan dampak besar jika diikuti oleh jutaan orang," katanya saat membuka Climate and Air Quality Fair 2024 BMKG, Selasa (15/10/2024).

Ia juga menyoroti kerugian ekonomi yang besar akibat polusi udara, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. BMKG  mengoperasikan 27 alat pemantau konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di seluruh Indonesia, yang mengukur PM2.5 secara real-time.

Data ini tersedia secara terbuka di situs web BMKG untuk pemantauan publik. "Laboratorium kualitas udara kami juga memainkan peran penting, terutama dalam pemantauan deposisi kering dan basah dari polutan udara," jelasnya.

BMKG terus menyebarkan informasi terkait gas rumah kaca melalui berbagai platform, termasuk website, sebagai upaya meningkatkan kesadaran akan pentingnya kualitas udara.

Dwi Budi juga menyoroti kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jakarta, yang mencapai Rp 100 triliun per tahun. Sebanyak Rp 40 triliun digunakan untuk bahan bakar kendaraan, sementara Rp 60 triliun lainnya terkait dengan biaya kesehatan akibat polusi.

Ia menegaskan kota besar harus memiliki rencana strategis yang jelas untuk mengoptimalkan angkutan umum guna mengurangi polusi udara.

"Kota-kota besar di luar negeri seperti Beijing dan Shanghai sudah melarang penggunaan sepeda motor berbahan bakar fosil. Kita juga harus tegas dalam menerapkan kebijakan untuk mengendalikan polusi udara," tambahnya.

Salah satu masalah yang dihadapi Indonesia adalah kualitas bahan bakar yang masih rendah. Meski sudah menuju standar Euro 4, kadar sulfur pada sebagian besar bahan bakar masih tinggi, kecuali pada jenis-jenis tertentu seperti Pertamax Turbo dan Pertamax Green.

"Sulfur di bahan bakar Pertamax masih mencapai 500 ppm, padahal seharusnya di bawah 50 ppm. Ini sangat mempengaruhi kesehatan kita," ujar Dwi Budi.

Ia berharap pemerintah dapat mengambil tindakan tegas untuk mengendalikan kualitas udara, mengingat dampaknya yang signifikan terhadap kesehatan masyarakat, terutama pada penyakit kardiovaskular dan respirasi.

"Kebijakan yang tegas terkait kualitas udara sangat penting, karena ini juga berdampak pada pemanasan global dan perubahan iklim," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement