REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak belia, Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah tumbuh dalam keluarga yang mengutamakan akhlak. Dia merupakan putra pemimpin Suku Khazraj di Yastrib (Madinah), Sa’ad bin ‘Ubadah. Qais menjadi seorang Muslim ketika masih anak-anak.
Waktu itu, ayahnya memperkenalkannya ke hadapan Rasulullah SAW. Sebuah riwayat menyebutkan, Nabi Muhammad SAW cukup terkesan dengan Qais. Sejak saat itu, kedekatan Qais dengan Rasulullah SAW terbina baik. Salah seorang sahabat, Anas bin Malik pernah mengungkapkan, “Kedudukan Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah di sisi Nabi SAW tidak ubahnya seperti seorang ajudan.”
Baik sebelum maupun setelah masuk Islam, Qais terkenal sebagai pribadi yang dermawan tetapi juga berakal panjang. Hal inilah yang membuat kebanyakan masyarakat Madinah gentar terhadapnya.
Setelah keimanan menetap dalam hatinya, Qais mengubah kepiawaiannya dalam mengakali orang-orang dengan kejujuran. Ia memang termasuk orang yang peka dalam berbahasa diplomatis sehingga lawan bicaranya dapat saja menuruti kemauan Qais.
Pernah suatu ketika Qais berkata kepada kawan-kawannya, “Kalaulah bukan lantaran Islam, sudah kubuat tipu muslihat yang tak akan dapat ditandingi sekalian bangsa Arab.”
Baginya, Islam merupakan jalan menuju rahmat Allah. Oleh karena itu, Qais lebih konsisten mengamalkan sifat kedermawanan, sebagaimana didikan dari keluarga besarnya. Secara turun-temurun, Ibnu ‘Ubadah termasuk keluarga yang ringan hati dalam membantu masyarakat Madinah.
Bahkan, Rasulullah SAW pernah berkata, “Kedermawanan merupakan tabiat anggota keluarga ini (Bani ‘Ubadah).”
Sebagai contoh, di muka rumah keluarga Sa’ad bin ‘Ubadah kerap ada beberapa penjaga. Mereka memantau dari tempat yang tinggi untuk kemudian menyerukan kepada beberapa musafir yang kebetulan lewat. Tujuannya mengajak para pelintas itu untuk ikut makan bersama keluarga Sa’ad.
Ujaran yang cukup mahsyur di kalangan Anshar, “Barangsiapa yang ingin memakan lemak dan daging, silakan mampir ke dalam benteng perkampungan Dulaim bin Haritsah!” Dulaim bin Haritsah merupakan kakek buyut Qais bin Sa’ad. Demikian seperti dikutip dari buku Yang Merangkak ke Surga.
Perubahan yang cukup drastis dari pribadi Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah membuat orang-orang Madinah semakin respek terhadapnya. Perawakan Qais betul-betul lebih muda bahkan ketimbang kawan-kawan sebayanya. Misalnya, Qais berwajah licin alias tidak memiliki janggut. Akan tetapi, penampilan bukanlah soal bagi orang seperti dirinya, yang terkenal konsisten berbuat baik terhadap sesama. Walaupun berusia muda, kaum Anshar memandang Qais sebagai seorang pemimpin dengan penuh hormat.