REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menegaskan, merchant yang menggunakan sistem pembayaran QRIS dilarang untuk menambah biaya administrasi kepada pengguna. Hal tersebut tertulis dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Pasal 52, penyedia barang dan jasa dilarang mengenakan biaya tambahan kepada pengguna jasa.
"Jika ada pelanggaran, pengguna dapat melaporkannya kepada penyedia jasa pembayaran (PJP), dan sanksi dapat dikenakan, termasuk penghentian kerja sama dengan merchant tersebut," jelas Deputi Gubernur BI Filianingsih Hendarta dalam konferensi pers RDG di Kompleks BI, Rabu (16/10/2024).
Ia pun menekankan selama ini, QRIS berfungsi sebagai pendorong daya beli masyarakat, terutama di kalangan kelas menengah bawah dan sektor informal. BI mencatat, transaksi QRIS telah mencapai 4,8 miliar, melampaui target tahun 2024 yang ditetapkan sebesar 2,5 miliar, atau meningkat 163,63 persen. Pengguna QRIS saat ini juga mencapai 53,3 juta, hampir 82 persen dari target 55 juta, dan terdapat 34,2 juta merchant yang terdaftar.
"Pertumbuhan sektor yang paling signifikan berasal dari makanan dan minuman, dengan kontribusi 35,9 persen, diikuti oleh restoran dan hotel sebesar 16,93 persen," ungkapnya.
Dengan pertumbuhan yang signifikan dan regulasi yang ketat, Bank Indonesia berharap sistem pembayaran QRIS akan semakin diperluas dan diadopsi oleh lebih banyak masyarakat, mendorong inklusi keuangan di seluruh Indonesia.
Hadir dalam kesempatan yang sama, Gubernur BI Perry Warjiyo mengumumkan mulai 1 Desember 2024 akan ada penerapan Merchant Discount Rate (MDR) QRIS 0 persen untuk transaksi hingga Rp 500 ribu pada merchant Usaha Mikro (UMI). Kebijakan ini diharapkan dapat menopang daya beli masyarakat kelas menengah bawah.
“Dengan penerapan MDR 0 persen, kami ingin memastikan masyarakat dapat mengakses sistem pembayaran digital dengan lebih mudah dan terjangkau,” ujarnya.