Ahad 27 Oct 2024 20:45 WIB

Netralitas ASN pada Pilkada dan Komitmen Presiden Prabowo

Netralitas ASN adalah salah satu amanat reformasi.

 Ilustrasi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Netralitas ASN pada pilkada serentak masih menjadi persoalan.
Foto: setkab.go.id
Ilustrasi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Netralitas ASN pada pilkada serentak masih menjadi persoalan.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad E Fuady, Dosen Fikom Unisba

Pilkada 2008 adalah kontestasi yang dinilai demokratis karena kandidat boleh berasal dari partai politik maupun perseorangan untuk pertama kalinya. Calon kepala daerah yang berlaga mengikuti kontestasi, dipilih secara langsung oleh voters.

Ada kisah unik pada kontestasi kala itu. Seorang wali kota pejawat yang akan mengikuti pilkada, membuat sebuah jingle kampanye berupa ringtone untuk nada panggil ponsel. Menariknya lagi, Aparatur Sipil Negara (ASN) banyak menggunakan ringtone tersebut.

Mereka sengaja tak segera mengangkat telepon bila ada panggilan masuk. Tujuannya agar orang di kantor mendengar ia menggunakan nada panggil itu. Mereka menegaskan dukungan diberikan kepada pejawat. Para ASN ini tak ragu menunjukkan keberpihakan dan ketidaknetralan.

Enam belas tahun berlalu, ternyata netralitas ASN masih menjadi persoalan. Pada Pilpres dan Pileg lalu saja ada 417 laporan dugaan pelanggaran netralitas ASN. Berdasarkan pemeriksaan Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) 197 orang terbukti melanggar dan mendapat sanksi.

Pelanggaran didominasi keberpihakan ASN pada kandidat di media sosial. Bahkan lelang Pilkada serentak, Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI Rahmat Bagja menyatakan sudah ada 400 laporan dugaan pelanggaran netralitas ASN.

Netralitas ASN adalah salah satu amanat reformasi. Publik tak ingin ASN terikat secara politik dengan organisasi peserta pemilu karena itu berimplikasi pada netralitas dan profesionalisme sebagai pelayan masyarakat. Persoalannya bukan hanya pada aspek pelayanan, tetapi juga berpotensi pada penyimpangan penggunaan fasilitas dan anggaran. Netralitas penting agar ASN tidak memobilisasi warga maupun aset negara untuk mendukung kandidat politik tertentu.

Persoalan yang kita hadapi pada pemilu memang banyak bersinggungan dengan netralitas dan profesionalisme aparatur negara. Pada Pilkada serentak 2020 saja terdapat ribuan ASN yang terbukti melanggar netralitas. Mereka melakukan pelanggaran yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya birokrasi, mobilisasi sumber daya manusia, alokasi anggaran, bantuan program, hingga menggunakan fasilitas sarana dan prasarana untuk kepentingan kandidat tertentu.

Pada pilpres dan pileg lalu angka pelanggaran netralitas ASN memang menurun. Namun, indikasi penurunan itu disebabkan publik lebih permisif dan tutup mata terhadap pelanggaran, selain terjadi pula kesulitan dan keterbatasan dalam melakukan pemantauan, seperti pelanggaran di media sosial misalnya. Banjir informasi melimpahnya konten membuat pemantauan menjadi tidak mudah.

Pelanggaran biasanya selalu terjadi saat ASN maju menjadi kandidat kepala daerah. Pilihannya adalah ia mengundurkan diri saat mencalonkan diri sebagai kepala daerah agar tidak terjadi konflik kepentingan yang dapat merugikan negara dan masyarakat. Ia bisa saja menggunakan berbagai fasilitas negara saat melakukan pendekatan dengan parpol dan masyarakat saat akan mencalonkan diri. Meski kini aturan telah berubah, ASN harus mengundurkan diri setelah dinyatakan sebagai calon dalam Pilkada.

Untuk mengokohkan cara pandang yang sama terhadap netralitas ASN perlu dilakukan beberapa hal. Satu, keteladanan itu penting. Pernyataan pejabat negara seperti presiden  bahwa ia tidak netral dalam pemilu, kemudian menteri yang terbukti melakukan pelanggaran kampanye, itu mengubah cara pandang ASN terhadap netralitas itu sendiri. Dikhawatirkan sikap pejabat itu membuat ASN semakin permisif terhadap pelanggaran.

Pernyataan Presiden Terpilih Prabowo mengenai Pilkada di penutupan kongres Partai Amanat Nasional, Agustus lalu, patut dipuji. “Siapapun yang dipilih tidak ada masalah, tidak ada intervensi saya jamin itu tidak ada," kata Prabowo. Ia menegaskan tak akan cawe-cawe atau ikut campur. Artinya, ia mempercayakan pada penyelenggara Pilkada, sistem dan mekanisme yang berjalan.

Dua, dibutuhkan kampanye atau sosialisasi dan edukasi mengenai netralitas ASN, termasuk literasi digital karena banyak juga pelanggaran yang terjadi di media sosial. Tiga, sanksi tegas terhadap pelanggaran. Empat, jelang Pilkada 2024, Badan Kepegawaian Negara (BKN) memang telah menyiapkan aplikasi pelaporan terhaap ASN yang melakukan pelanggaran netralitas. Ini patut diapresiasi. Laporan pelanggaran netralitas ASN yang masuk akan diverifikasi bersama oleh Satgas Netralitas yang terdiri dari BKN, Kementerian PANRB, Kementerian Dalam Negeri, dan Bawaslu. Laporan itu diselesaikan berdasarkan timeline yang terukur.

Peran pengawasan seharusnya tetap diberikan pada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), lembaga ini seharusnya diperkuat, bukannya dibubarkan meski peran itu kemudian diberikan pada BKN. Pihak Bawaslu dapat bekerjasama dengan BKN  untuk menindaklanjuti pelanggaran. Apalagi pelanggaran terhadap netralitas ASN pada pilkada 2024 diprediksi akan meningkat dua hingga tiga kali lipat.

Publik ingin ASN yang bebas dari intervensi politik praktis, tidak berafilisasi dengan parpol apalagi mengarahkan pada kandidat politik tertentu. Jika tidak, integritas, profesionalisme, dan netralitas ASN menjadi taruhannya. Komitmen Presiden Prabowo terhadap netralitas di Pilkada juga harus diterjemahkan oleh penyelenggara di berbagai daerah dan ASN sebagai komitmen bersama agar Pilkada berjalan sukses.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement