REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pakar hubungan internasional Faisal Karim menilai, kepenatan terhadap pemerintahan Presiden Joe Biden dan Wakil Presiden Kamala Harris menjadi salah satu faktor yang memacu kemenangan Donald Trump. Capres dari Partai Republik tersebut hampir pasti memenangkan kontestasi Pilpres Amerika Serikat (AS).
“Kita lihat, basis Partai Demokrat muak dengan Harris yang mereka anggap terlibat dalam genosida di Palestina, misalnya, serta ketidakmampuan pemerintahan Biden-Harris dalam menyelesaikan permasalahan Ukraina,” kata Faisal, di Jakarta, Rabu (6/11/2024).
Kegagalan menangani persoalan tersebut, kata akademisi dari Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) itu, membuat sebagian pendukung Partai Demokrat pada akhirnya urung memilih pada pemilu.
“Pada saat yang bersamaan, pendukung Trump solid di bawah Trump, khususnya (mereka yang mendukung) Partai Republik, kaum konservatif, dan kalangan moderat yang semakin prihatin atas perekonomian AS,” kata dia.
Selain lesunya ekonomi dan tingginya inflasi, kata Faisal, persoalan imigran ilegal yang terjadi di perbatasan AS-Meksiko turut andil dalam mempengaruhi pilihan masyarakat AS atas presiden yang mereka inginkan.
Dengan demikian, ia menyatakan bahwa hal tersebut membuat potensi kemenangan Trump semakin besar, khususnya di saat lembaga-lembaga survei menyatakan bahwa proyeksi hasil Pilpres AS akan terlalu tipis.
Berdasarkan data terkini AP, Trump unggul dengan 51,2 persen suara atas Harris yang baru meraup 47,4 persen suara. Pada 5 November 2024, Amerika Serikat menggelar Pemilihan Presiden dan Kongres Ke-60 untuk menentukan presiden ke-47 dan wakil presiden ke-50.
Kamala Harris (60 tahun), pejawat wakil presiden AS, memenangkan nominasi dari Partai Demokrat setelah Presiden Joe Biden mundur dari pencalonan pada pertengahan 2024. Sementara itu, Donald Trump (78) mencalonkan diri untuk ketiga kalinya secara berturut-turut untuk dapat kembali menguasai Gedung Putih.