Senin 18 Nov 2024 15:00 WIB

Lonjakan Metana dari Lahan Basah Ancam Target Iklim

Emisi metana dari lahan basah akan meningkat saat iklim semakin panas.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Iklim (ilustrasi)
Foto: www.freepik.com
Iklim (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BAKU -- Penelitian terbaru menunjukkan lahan basah di wilayah tropis yang terdampak pemanasan global melepaskan metana lebih banyak dari sebelumnya. Menurut ilmuwan, hal tersebut dapat mengakibatkan target iklim global semakin sulit dicapai.

Para peneliti mengatakan metana dari lahan basah tidak dimasukkan ke dalam rencana emisi nasional dan belum banyak dihitung dengan model-model saintifik.

Baca Juga

Menurut para peneliti, lonjakan metana lahan basah dapat menghambat pemerintah untuk memangkas emisi dari bahan bakar fosil dan industri pertanian mereka. Sudah lama ilmuwan memproyeksikan emisi metana dari lahan basah akan meningkat saat iklim semakin memanas.

Namun, sampel dari tahun 2020 sampai 2022 menunjukkan konsentrasi metana tertinggi di atmosfer sejak pengukuran yang tepat dilakukan pada tahun 1980-an. Empat penelitian yang dirilis beberapa bulan terakhir mengatakan naiknya konsentrasi metana di atmosfer kemungkinan disebabkan lahan basah tropis.

Wilayah-wilayah tropis berkontribusi 7 juta ton lonjakan metana dalam beberapa tahun terakhir.  “Konsentrasi metana tidak hanya meningkat, tetapi meningkat lebih cepat dalam lima tahun terakhir dibandingkan dengan waktu yang tercatat dalam instrumen,” kata para lingkungan dari Stanford University, Rob Jackson Ahad (17/11/2024).

Jackson merupakan ketua kelompok ilmuwan yang mempublikasikan laporan lima tahunan Global Methane Budget, yang terakhir kali dirilis pada bulan September lalu. Satelit menunjukkan wilayah tropis merupakan sumber lonjakan metana di atmosfer.

Para ilmuwan menganalisis sidik jari kimiawi yang berbeda dalam metana untuk menentukan apakah metana tersebut berasal dari bahan bakar fosil atau sumber alami, dalam hal ini lahan basah.

Menurut para peneliti, Kongo, Asia Tenggara, Amazon, dan Brasil bagian selatan berkontribusi paling besar terhadap lonjakan metana dari wilayah tropis.

Data yang dipublikasikan di Nature Climate Change pada Maret 2023, menunjukkan emisi tahunan lahan basah selama dua dekade terakhir sekitar 500.000 ton per tahun lebih tinggi daripada yang diperkirakan para ilmuwan, yang sudah diproyeksikan skenario iklim terburuk.

Dengan teknologi yang ada saat ini menangkap emisi dari lahan basah merupakan hal yang menantang. “Kita mungkin seharusnya lebih khawatir dibanding dengan yang kita lakukan sekarang,” kata ilmuwan iklim Drew Shindell di Duke University.

Menurut penelitian yang diterbitkan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences pada bulan September lalu, pola iklim La Nina yang menyebabkan hujan yang lebih lebat di beberapa wilayah tropis tampaknya menjadi penyebab lonjakan tersebut.

Metana 80 kali lebih kuat daripada karbon dioksida dalam memerangkap panas dalam rentang waktu 20 tahun. Metana juga menyumbang sekitar sepertiga dari kenaikan 1,3 derajat Celcius suhu bumi dibanding sejak pencatat dilakukan pada tahun 1850.

Tidak seperti karbon dioksida, metana akan hilang dari atmosfer setelah sekitar satu dekade, sehingga dampak jangka panjangnya lebih kecil. Lebih dari 150 negara berjanji untuk mengurangi emisi sebesar 30 persen dari tingkat emisi tahun 2020 pada tahun 2030, dengan cara mengatasi infrastruktur minyak dan gas yang bocor.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement