REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nahdlatul Ulama (NU) kini mencapai usia 99 tahun, menurut penanggalan Masehi. Nama organisasi masyarakat Islam yang mengusung paham ahlus sunnah wal jama’ah (aswaja) itu secara kebahasaan berarti ‘kebangkitan ulama.’
Sejarah mencatat, NU berdiri sejak 31 Januari 1926. Surabaya (Jawa Timur) menjadi tempat bagi Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari beserta sejumlah ulama tradisional untuk merintis ormas tersebut.
Awal dari berdirinya NU ialah keberadaan sebuah organisasi yang terbentuk pada 1916. Nahdlatul Wathan (NW), begitu nama perkumpulan itu, menjadi tempat berkumpulnya para santri dan cendekiawan Muslim. Mereka memiliki semangat yang sama, yakni kebangkitan umat Islam untuk melawan penjajahan.
Pada 1918, NW berkembang menjadi Taswirul Afkar. Nama lainnya ialah Nahdlatul Fikri, yang berarti ‘kebangkitan pemikiran.’ Transformasi itu mengakomodasi kian banyaknya kaum muda Muslim terpelajar. Mereka menjadikan organisasi itu sebagai wahana pendidikan keagamaan Islam serta sosial-politik kebangsaan.
Selanjutnya, terbentuklah Nahdlatut Tujjar. Seperti tampak pada namanya, pergerakan itu menghimpun kaum saudagar Muslim yang ingin membangkitkan perekonomian umat. Maka dalam dasawarsa pertama abad ke-20, tanda-tanda kebangkitan umat Islam tradisional kian mengemuka. Penggerak utamanya muncul dari kalangan cendekiawan dan pedagang.
KH Abdul Wahab Hasbullah (1888-1971) merupakan seorang tokoh utama di balik organisasi-organisasi “kebangkitan” (nahdlah) tersebut. Ulama kelahiran Jombang, Jawa Timur, itu juga turut aktif dalam pelbagai upaya konsolidasi kekuatan umat se-Tanah Air.
Hal itu tampak, antara lain, pada kontribusinya dalam Kongres Umat Islam Indonesia (KUII—disebut pula Kongres al-Islam) IV di Yogyakarta pada 21-27 Agustus 1925. Saat itu, para pemuka Muslim di Indonesia larut dalam diskusi-hangat tentang efek runtuhnya Kekhalifahan Turki Utsmaniyah.
View this post on Instagram
Maka, peserta Kongres al-Islam itu juga turut membicarakan peristiwa itu. Salah satu hal yang menjadi konsen ialah situasi di Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah atau Haramain. Sebab, jatuhnya Utsmaniyyah memunculkan konflik antara para pendukung Ibnu Saud di satu pihak dan simpatisan Syarif Husein di pihak lain.
Masing-masing berebut pengaruh politik utamanya atas wilayah Hijaz. Pada 1925, menjadi jelaslah bahwa kubu Ibnu Saud memenangkan perseteruan. Sebagai catatan, penguasa Arab itu berhaluan Wahabi.