REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dahulu, Imam Syafii memiliki seorang murid yang bernama ar-Rabi’ bin Sulaiman. Di antara kawan-kawannya, ia termasuk yang slow learner. Kemampuannya dalam menangkap pelajaran tidak begitu cepat dan bahkan sering kali tertinggal.
Bagaimanapun, Imam Syafii tidak memvonis muridnya. Sang fakih selalu menerangkan pelajaran kepadanya dengan seruntut mungkin.
Sesudah memberikan penjelasan, Imam Syafii pun bertanya kepadanya, “Wahai Rabi’, apakah pelajaran ini sudah kau pahami atau belum?”
“Belum paham, ya Syekh,” jawab Rabi’.
Dengan penuh kesabaran, sang guru pun mengulangi lagi penjelasannya.
“Kalau sekarang, apakah kau sudah memahaminya?” tanya ulama ahli fikih itu lagi.
“Belum, ya Syekh,” kata Rabi’, kali ini dengan suara amat pelan.
Maka, Imam Syafii kembali mengulangi penjabarannya mengenai pelajaran yang sama. Hal itu dilakukannya bahkan sampai 39 kali.
Sayangnya, murid yang slow learner ini tak kunjung memahami pokok-pokok materi yang disampaikan sang guru. Sungguh, Rabi’ saat itu sangat malu. Tidak kuat mengangkat wajahnya sendiri.
Ia menyesal dan sedih karena merasa telah mengecewakan gurunya. Matanya sembab, seperti ingin menangis.
Ketika Imam Syafii beralih pada murid lainnya, Rabi’ diam-diam pergi dari masjid tempat aktivitas belajar-mengajar itu. Dengan hati yang pilu, pemuda tersebut pulang ke rumahnya.
Baru setengah jalan, Rabi’ mendengar suara seseorang memanggilnya. Ternyata, seorang kawan memberi tahu bahwa Imam Syafii memanggilnya kembali.
Rabi’ pun berupaya mengumpulkan keberanian yang tersisa untuk sekadar mendekat lagi ke masjid.
Rabi’ bersyukur dalam hati karena sang guru tidak menunjukkan kekesalan kepadanya. Justru, Imam Syafii berkata dengan lemah lembut, “Kemarilah, ikut bersama saya ke rumah.”
Rabi’ menurut saja. Barulah ketika sampai di rumah Imam Syafii, ia menyadari bahwa sang guru hendak memberikan pelajaran tambahan kepadanya secara privat.