Senin 02 Dec 2024 14:00 WIB

Negara Asia Dinilai tak Serius Atasi Sampah Plastik

Sikap diam negara-negara Asia menunjukkan kurangnya komitmen perangi sampah plastik.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Warga memungut sampah plastik di kawasan Pantai Kedonganan, Badung, Bali, Rabu (20/3/2024).
Foto: ANTARA FOTO/Fikri Yusuf
Warga memungut sampah plastik di kawasan Pantai Kedonganan, Badung, Bali, Rabu (20/3/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, BUSAN -- Aliansi 10 organisasi lingkungan hidup Indonesia, Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), kecewa dengan lemahnya ambisi negara-negara Asia di negosiasi kelima untuk menyepakati Instrumen Hukum yang Mengikat (ILBI) untuk mengakhiri pencemaran plastik (INC-5). Hanya Bangladesh dan Filipina dari negara Asia yang dinilai punya rencana serius untuk mengatasi sampah plastik.

Aliansi mengatakan meskipun dianggap sebagai kontributor yang signifikan terhadap pencemaran plastik di lingkungan, sikap diam negara-negara Asia menunjukkan kurangnya komitmen dan keseriusan dalam menangani krisis ini.

Baca Juga

AZWI mencatat plastik di Asia Tenggara pada tahun 2024 diproyeksikan mencapai 30,48 juta ton, dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan lebih dari 4 persen selama periode 2024-2029. Angka ini diperkirakan meningkat menjadi 38,36 juta ton pada tahun 2029.

Namun, di tengah pertumbuhan ini, bukti ilmiah semakin menunjukkan plastik membahayakan kesehatan manusia.  Sejak 2020, lebih dari 200 penelitian mikroplastik telah dilakukan di kawasan ASEAN. Hasilnya menunjukkan paparan mikroplastik tinggi dalam tubuh manusia, berkisar antara 80 hingga 490 mg per kapita per hari.

“Sebagai bagian dari masyarakat Asia yang sering disalahkan karena dianggap kontributor terhadap pencemaran plastik, kami kecewa bagaimana posisi negara-negara Asia pada proses negosiasi ini," kata Co-Coordinator Nasional AZWI Nindhita Proboretno dalam pernyataan AZWI, Ahad (1/12/2024).  

Nindhita mengatakan negara-negara Asia lebih mendukung ekspansi produksi plastik tanpa melihat fakta apa yang terjadi di negaranya. Padahal, tambahnya, negara-negara Asia memiliki peluang besar untuk memimpin dengan memberi solusi sesuai dengan kearifan masyarakat lokal.

AZWI mencatat kritik negosiasi yang digelar di Busan, Korea Selatan (Korsel) yang membatasi partisipasi masyarakat sipil, sehingga menimbulkan kurangnya transparansi dan inklusivitas. Akses pengamat pertemuan terutama dari negara-negara Asia ke pertemuan penting seperti Regional Meeting dan Contact Groups dibatasi.

AZWI juga mengkritik sejumlah masalah lain seperti jumlah kursi tidak memadai dan kesempatan berbicara di sesi plenary yang terbatas. Masalah ini pertama kali disuarakan pada INC-4 dan terus berlanjut selama Intersessional Work di Bangkok, menunjukkan kurangnya komitmen untuk benar-benar melibatkan semua pemangku kepentingan dalam proses perjanjian yang penting ini.

“Proses di INC-5 sangat mengecewakan, terutama jika dibandingkan dengan Perjanjian Lingkungan Multilateral (MEA) lainnya yang secara historis lebih inklusif dan transparan," kata Senior Advisor Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati.

Yuyun mengatakan masyarakat sipil Indonesia sudah menempuh perjalanan jauh dengan keahlian dan pengalamannya masing-masing, tetapi suara mereka diabaikan. Pembatasan akses dan peluang partisipasi menjadi hambatan besar untuk perjanjian ini.

"Namun, kami tidak boleh mundur, kami harus terus memperjuangkan kesehatan, lingkungan, dan masa depan. Waktu sangat terbatas, dan hari ini adalah satu-satunya kesempatan untuk mendorong perjanjian yang ambisius dan bermakna,” tambahnya.  

AZWI mengatakan dokumen yang dirilis ketua pertemuan pada 29 Desember menimbulkan kekhawatiran karena banyak aspek lingkungan, kesehatan, dan finansial yang tidak kuat mengatasi plastik di seluruh siklus hidupnya. Usulan Indonesia untuk mengganti judul Pasal 7 dari “Emissions and Releases” menjadi “Releases and Leakages” dalam Conference Room Paper (CRP) memperumit pemahaman tentang jalur pencemaran plastik dari hulu hingga hilir.

Menurut aliansi, dengan mengubah dan menambahkan kata “leakages”, intervensinya menjadi berorientasi pad apengelolaan sampah bukan fokus pada kontrol pencemaran dari kegiatan produksi plastik di hulu sampai menjadi sampah. Ada indikasi keterlibatan industri plastik dalam mempengaruhi delegasi untuk mengaburkan tanggungjawab industri dan mengalihkannya menjadi beban publik.

“Lagi-lagi kami belum melihat posisi Indonesia yang berpihak kepada masyarakat, karena perjanjian ini bukan hanya soal kepentingan industri atau pengelolaan sampah semata, tapi juga tentang keberlangsungan hidup masyarakat. Sudah banyak bukti banyak kejadian di Indonesia bagaimana kelompok rentan dan masyarakat di tapak terdampak langsung atas pencemaran plastik,” kata Juru Kampanye Polusi dan Perkotaan WALHI Abdul Ghofar.

AZWI mencatat laporan terbaru Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA) bertajuk Unpacking Reuse in Asia menyoroti sistem guna ulang dan isi ulang yang inovatif di Asia sebagai alternatif efektif untuk plastik sekali pakai. Sistem ini tidak hanya mengurangi sampah plastik tetapi juga mendukung ekonomi lokal dan pola konsumsi berkelanjutan.

"Asia memiliki sejarah panjang ekonomi guna ulang yang berkembang untuk mengatasi plastik sekali pakai, laporan ini menunjukkan bagaimana sistem guna ulang dan isi ulang dapat mengubah pola konsumsi sambil mendukung mata pencaharian masyarakat," kata Wakil Direktur Dietplastik Indonesia Rahyang Nusantara.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement