REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yusuf al-‘Azhmah lahir pada 1883 di Damaskus (Suriah) dari keluarga yang multi-etnis. Saat berusia 22 tahun, dia lulus dengan pujian tertinggi dari Akademi Militer Kekhalifahan Turki Utsmaniyah di Istanbul.
Ketika Perang Dunia I meletus pada 1914, Yusuf al-‘Azhmah ditunjuk menjadi komandan Brigade Utsmaniyyah 25 di Bulgaria. Setelah itu, namanya mulai dikenal luas kalangan elite militer di ibu kota.
Sesudah Perang Dunia I mereda, Dinasti Utsmaniyyah termasuk ke dalam kelompok yang kalah. Istanbul pun tak mampu mempertahankan kendali atas daerah-daerah taklukannya di selatan.
Konferensi di Paris pada 1919 menjadi ajang “bagi-bagi kue” wilayah kekuasaan di Dunia Arab yang mulai memberontak terhadap Utsmaniyyah. Di antara imperium Eropa yang menang Perang Dunia I, Inggris dan Prancis menjadi yang paling ambisius untuk menduduki negeri-negeri Arab.
Seorang putra Syarif Makkah, Hussein bin Ali al-Hasyimi, yang bernama Faisal I ikut dalam forum yang berlangsung di Prancis itu. Di sana, dia menyuarakan kemerdekaan dan nasionalisme Arab. Sementara itu, kelompok-kelompok pendukungnya di Suriah menyiapkan kongres nasional untuk mewujudkan kemerdekaan yang dimaksud.
Pada Maret 1920, Faisal I dengan dukungan kaum nasionalis mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Arab-Suriah. Keturunan Bani Hasyim itu diangkat sebagai raja, sedangkan Hasyim al-Atassi selaku perdana menteri.
Adapun Yusuf al-‘Azhmah yang saat itu merupakan staf ahli Faisal I menjadi menteri pertahanan. Di sinilah kepiawaiannya di bidang administrasi pemerintahan mulai teruji. Sebab, Kerajaan Arab-Suriah baru seumur jagung tetapi harus menghadapi pelbagai potensi konflik terbuka dengan negara-negara besar Eropa atau para pemenang Perang Dunia I.
Menurut Sami M Moubayed dalam buku Steel & Silk: Men and Women who Shaped Syria 1900-2000, sang menteri mampu membuktikan dirinya pantas menduduki jabatan ini. Dia merintis struktur angkatan perang Arab-Suriah hampir-hampir dari nol.
Infrastruktur pertahanan nasional serta hierarki Angkatan Perang Arab-Suriah juga ditata lebih modern. Anggaran negara juga ditingkatkannya untuk menaikkan taraf hidup para tentara.
Atas upaya-upaya ini, sang menteri dipromosikan untuk menduduki jabatan Panglima Perang Kerajaan Arab-Suriah sejak 26 Januari 1920.
Prancis menolak eksistensi Kerajaan Arab-Suriah. Pada 14 Juli 1920, Paris mengeluarkan ultimatum kepada Faisal I agar menarik mundur pasukan Suriah serta menerima keputusan Sekutu yang menghendaki Suriah dan Lebanon sebagai daerah protektorat yang dikuasai Prancis.
Selanjutnya, tentara Prancis mulai menduduki pantai Suriah dan merebut kota-kota penting, seperti Beirut serta Lattakia. Hanya menunggu waktu sampai pasukan ini tiba di jantung kerajaan, Damaskus.