REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada zaman dahulu, Kerajaan Buwaihiyah di Iran mengalami masalah pelik. Pangerannya yang bernama Abu Thalib Rustam mengidap penyakit kejiwaan atau delusi. Putra pasangan Raja Fakhr al-Dawla dan Ratu Sayyida Shirin itu menganggap dirinya seekor sapi.
Bahkan, tak jarang Abu Thalib Rustam bertingkah seolah-olah sapi. Ia melenguh atau berjalan seperti hewan ternak itu—dengan kedua kaki dan tangannya menapaki tanah berumput.
Lebih gawat lagi: berkali-kali Rustam minta disembelih. Tentu saja, permintaan itu tidak dikabulkan oleh kedua orang tuanya.
Raja dan Ratu sangat sedih melihat buah hatinya tidak kunjung sembuh. Mereka telah mendatangkan banyak tabib dan dokter untuk memulihkan kondisi sang pangeran.
Apa daya, tidak ada satu pun yang sanggup meyakinkan anak itu bahwa dirinya bukanlah sapi, melainkan manusia.
Karena permintaannya yakni disembelih oleh jagal tidak dituruti juga, Rustam pun melakukan mogok makan. Ia menolak setiap sajian yang disuguhkan kepadanya.
Setiap pagi, pemuda tersebut pergi ke padang rumput dan bertingkah seperti sapi. Melihat itu berkali-kali, ayahnya nyaris menyerah. Penguasa negeri Buwaihiyah itu tidak tahu lagi ke mana akan meminta pertolongan.
Suatu hari, kawannya yang bernama Husamuddin Abu Ja’far mendatangi Istana. Gubernur Isfahan itu mengabarkan, ada seorang dokter muda dan hebat yang insya Allah bisa mengatasi persoalan ini.
Dokter yang dimaksud adalah Ibnu Sina (980-1037), sang ilmuwan genius yang juga penulis Al-Qanun fii ath-Thibb.
Raja merasa gembira. Namun, Husamuddin mengungkapkan, dokter tersebut mau menolongnya, asalkan beberapa syarat dipenuhi. Di antaranya, Ibnu Sina mewajibkan bahwa tidak seorang pun menghalangi dirinya saat sedang menjalankan tindakan medis.
Tak punya banyak pilihan, Raja pun menyanggupi persyaratan itu.
Beberapa hari kemudian, Ibnu Sina tiba di istana. Saat bertemu dengan Pangeran Rustam, ia memperkenalkan diri sebagai jagal yang akan segera menyembelihnya. Rombongan yang dibawanya pun disebutnya sebagai tim pencacah daging.
View this post on Instagram
Mendengar itu, Rustam melonjak kegirangan. Sebab, itulah yang memang ditunggu-tunggunya selama ini.
Ibnu Sina memerintahkan beberapa temannya untuk mengikat tangan dan kaki sang pangeran sekencang-kencangnya. Bukannya memprotes, si anak raja malah pasrah begitu saja.
Prosesi “penyembelihan” dilakukan di lapangan rumput dalam kompleks istana. Bahkan, lubang tempat menampung darah juga sudah digali.
Rustam terbaring di atas tanah dengan tangan dan kakinya terikat. Ibnu Sina mendekatinya dengan membawa sebilah pisau besar nan tajam.