Jumat 03 Jan 2025 10:17 WIB

Rupiah Masih Berada di Rp 16.000 Tertekan Dolar AS atas Kebijakan Proteksionisme Trump  

Rupiah melemah 66 poin atau 0,41 persen menuju level Rp 16.198 per dolar AS.

Rep: Eva Rianti  / Red: Friska Yolandha
Teller menghitung mata uang Dolar AS di kantor cabang Bank Muamalat Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Kamis (30/5/2024). Nilai mata uang Rupiah terhadap dolar melemah hingga mencapai Rp16.250 di tengah ekspektasi pemangkasan suku bunga bank sentral AS (The Fed) yang semakin berkurang.
Foto: Dok Republika
Teller menghitung mata uang Dolar AS di kantor cabang Bank Muamalat Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Kamis (30/5/2024). Nilai mata uang Rupiah terhadap dolar melemah hingga mencapai Rp16.250 di tengah ekspektasi pemangkasan suku bunga bank sentral AS (The Fed) yang semakin berkurang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih terpantau berada di level psikologis Rp 16.000-an per dolar AS. Pengamat menilai Mata Uang Garuda terus tertekan penguatan dolar AS atas kebijakan proteksionisme Presiden terpilih Donald Trump. 

Mengutip Bloomberg, rupiah melemah 66 poin atau 0,41 persen menuju level Rp 16.198 per dolar AS pada penutupan perdagangan Kamis (2/1/2025). Pada perdagangan sebelumnya, rupiah berada di posisi Rp 16.173 per dolar AS. 

Baca Juga

“Presiden AS yang akan datang Donald Trump telah berjanji untuk mengenakan tarif tambahan pada China, yang diperkirakan akan memicu potensi perang dagang AS-China tahun ini setelah Trump menjabat akhir bulan ini,” kata Pengamat Mata Uang yang juga Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi dalam keterangannya, Kamis (2/1/2025). 

Selain itu, Ibrahim menyebut sentimen dari Bank Sentral AS/ The Federal Reserve mengenai kebijakan suku bunga yang cenderung hawkish juga memberi tekanan kepada rupiah. 

“Pertemuan Federal Reserve pada bulan Desember mengisyaratkan lebih sedikit pemotongan pada 2025 karena inflasi tetap menjadi perhatian utama, yang selanjutnya meredam prospek pasar Asia,” jelasnya. 

Di sisi lain, sentimen eksternal yang memengaruhi pasar mata uang domestik adalah kabar dari Korea Selatan dan China. Korea Selatan diketahui mengalami krisis politik yang belum pernah terjadi sebelumnya setelah Presiden Yoon Suk Yeol mengumumkan darurat militer pada 3 Desember 2024 lalu, yang dengan cepat ditarik kembali karena tekanan parlemen. Selanjutnya, Yoon dimakzulkan dan diskors dari jabatannya pada Desember, menghadapi tuduhan pemberontakan dan penyalahgunaan kekuasaan. Pengadilan Seoul telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadapnya.

Adapun di China, aktivitas manufaktur Tiongkok mengalami pertumbuhan yang lebih lemah dari yang diantisipasi pada Desember, menurut data indeks manajer pembelian swasta (PMI) yang dirilis pada Kamis, yang menunjukkan bahwa dampak dari langkah-langkah stimulus baru-baru ini memudar. Hasil PMI Caixin mengikuti data pemerintah awal minggu ini, yang juga mengindikasikan bahwa sektor manufaktur berkembang pada Desember tetapi dengan kecepatan di bawah ekspektasi.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement