REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tragedi kematian seorang siswi berusia 7 tahun akibat penusukan oleh seorang guru di sebuah sekolah dasar di Daejeon, Korea Selatan, menyoroti kurangnya sistem pengelolaan kesehatan mental. Kesehatan mental para pendidik di negara tersebut dinilai kian mengkhawatirkan.
Menurut data yang disampaikan oleh anggota parlemen Jin Sun-mee dari Partai Demokrat Korea, sebanyak 9.468 guru dan staf sekolah dasar lainnya menerima perawatan untuk depresi pada 2023. Angka ini menunjukkan 37,2 dari setiap 1.000 tenaga pendidik SD mendapatkan perawatan untuk depresi, lebih dari dua kali lipat dibandingkan 2018 yang hanya 16,4.
Jumlah guru per 1.000 pekerja sekolah dasar yang menerima perawatan untuk depresi adalah 37,2, lebih dari dua kali lipat angka tahun 2018 sebesar 16,4. Kondisi ini memicu seruan untuk adanya pendekatan tingkat nasional yang lebih komprehensif dalam mengelola kesehatan mental para pendidik.
Profesor psikiatri dari Kyung Hee University College of Medicine, Paik Jong-woo, menekankan perlunya sistem yang memungkinkan sekolah mencari bantuan dari spesialis kesehatan mental dalam menangani masalah ini. “Ini bukan hanya masalah di sekolah. Situasi ini bisa memburuk karena sekolah tidak memiliki sistem yang memungkinkan mereka mencari bantuan,” kata Prof Paik seperti dilansir laman Korea Times, Kamis (13/2/2025).
Guru yang menikam siswi kelas satu di Daejeon, yang terletak sekitar 160 kilometer selatan Seoul, telah mengambil cuti enam bulan pada bulan Desember tahun lalu karena depresi. Namun, baru 20 hari cuti, ia kembali mengajar dengan menyerahkan surat keterangan dokter. Berdasarkan regulasi saat ini, guru mengambil cuti medis dapat kembali bekerja hanya dengan surat keterangan dokter, tanpa perlu ada pemeriksaan lebih lanjut.
Dilaporkan bahwa guru tersebut telah menunjukkan perilaku kasar terhadap seorang rekannya setelah ditanya tentang keadaannya, hanya empat hari sebelum penusukan. Selain itu, sehari sebelum kejadian, ia juga merusak komputer sekolah, mengeluh tentang lambatnya akses ke portal kantor pendidikan.
Sekolah melaporkan kejadian tersebut ke Kantor Pendidikan Kota Metropolitan Daejeon. Seorang inspektur datang dan merekomendasikan agar guru tersebut dipisahkan sementara. Namun karea penolakan dari guru dan pihak guru, tidak ada tindakan lebih lanjut, sampai akhirnya tragedi mematikan terjadi.
Prof Paik Jong-woo menyayangkan kurangnya tindakan meskipun sudah ada laporan dan investigasi terhadap perilaku kekerasan guru tersebut. "Saya yakin ada rasa penyesalan besar terkait apakah tragedi ini bisa dicegah jika seorang psikiater dilibatkan, dan dilakukan evaluasi kesehatan mental yang tepat,” kata dia. Di sisi lain, ia memperingatkan bahwa menyalahkan riwayat kesehatan mental sebagai satu-satunya penyebab dapat memperkuat stigma negatif terhadap penderita depresi, yang justru paling membutuhkan perawatan.