Rabu 19 Feb 2025 03:50 WIB

Bulan Syaban Dilalaikan Manusia, Mengapa Rasulullah Menghidupkannya dengan Ibadah?

Waktu yang dilalaikan manusia merupakan keutamaan dalam menjalankan ibadah.

Umat Islam membaca surah Yasin pada malam Nisfu Syaban 15 Syaban 1444 Hijriah di Masjid Suada, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Selasa (7/3/2023). Malam Nisfu Syaban adalah malam pada pertengahan bulan Syaban atau malam tanggal 15 Syaban yang disebut juga malam pengampunan dosa sehingga banyak umat Islam melakukan ibadah.
Foto: ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
Umat Islam membaca surah Yasin pada malam Nisfu Syaban 15 Syaban 1444 Hijriah di Masjid Suada, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Selasa (7/3/2023). Malam Nisfu Syaban adalah malam pada pertengahan bulan Syaban atau malam tanggal 15 Syaban yang disebut juga malam pengampunan dosa sehingga banyak umat Islam melakukan ibadah.

REPUBLIKA.CO.ID, Ramadhan yang kian menjelang selayaknya disambut dengan persiapan matang. Sabda Nabi SAW tentang hakikat bulan sebelum Ramadhan memperlihatkan bagaimana istimewanya cara berpikir orang seperti Rasulullah  karena tingkat kebijaksanaan, ilmu, dan keimanannya.

Keistimewaan ini ditambahkan pada kepribadiannya. Dia merencanakan semua tindakannya dengan cara terbaik dan menemukan keseimbangan yang tepat dan jalan tengah antara kebutuhan jiwa dan tubuh.

Baca Juga

Diriwayatkan Aisyah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah SAW biasa berpuasa sampai kami katakan dia tidak berbuka dan berbuka sampai kami katakan dia tidak berpuasa, dan aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasa sebulan kecuali Ramadhan, dan aku tidak pernah melihatnya lebih banyak berpuasa di bulan manapun daripada di bulan Sya’ban.” Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, dan dalam sebuah riwayat oleh Muslim: “Dia biasa berpuasa sepanjang bulan Sya’ban, dia biasa berpuasa Sya’ban kecuali sedikit. “Sekelompok ulama, termasuk Ibnu Mubarak dan lainnya, berpendapat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan puasa Syaban, bahkan ia berpuasa di sebagian besar bulan tersebut.

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku berkata, Wahai Rasulullah, aku tidak melihatmu berpuasa di salah satu bulan yang engkau puasa di bulan Syaban. Maka beliau berkata: “Itu adalah bulan yang diabaikan orang-orang, antara Rajab dan Ramadhan. Dan itu adalah bulan yang di dalamnya amal-amal diangkat kepada Tuhan semesta alam. Dan aku suka jika amal-amalku diangkat sementara aku berpuasa.”

Dilansir dari Islam Online, kecerdasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan bahwa Syaban berada di antara dua bulan besar, yaitu bulan suci Rajab dan bulan puasa Ramadhan. Orang-orang sering kali sibuk dengan keduanya dan mengabaikan Syaban. Inilah yang membedakan orang-orang pintar, yaitu mereka berpikir sebagaimana orang lain berpikir, tetapi mereka tidak mengabaikan atau mengabaikan sebagaimana orang lain mengabaikan sesuatu.

Sabda Rasulullah menjadi  indikasi bahwa sebagian dari amal saleh yang khusus untuk waktu, tempat, atau orang tertentu, belum tentu mendapatkan anjuran yang sama setiap saat.

Dari sabda Rasulullah juga dapat dipahami bahwa diutamakan memanfaatkan waktu-waktu yang paling diabaikan manusia dalam melakukan ibadah. Hal ini dapat ditelusuri kembali pada perilaku para pendahulu, mereka menyibukkan diri dengan shalat sunah di sela-sela dua shalat Isya, dan mengatakan bahwa itu adalah waktu lalai. Begitu pula para Salaf berpendapat bahwa diutamakan menyibukkan diri dengan berdzikir kepada Allah di pasar. Karena itu adalah dzikir di tempat lalai di antara orang-orang yang lalai.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement