REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Ari Hermawan menyoroti polemik tuntutan pemberian tunjangan hari raya (THR) untuk mitra pengemudi aplikasi transportasi daring.
Perdebatan muncul mengenai status kemitraan ojek online (ojol) yang apakah statusnya sebagai pekerja atau mitra sesuai skema yang berlaku.
Ari mengingatkan, perubahan status kemitraan perlu dilakukan dengan hati-hati agar tidak berdampak negatif pada ekosistem industri ride-hailing.
Jika tidak ada dukungan dari sub-sub sistem di dalamnya, sambung dia, dampaknya tidak hanya akan menghantam industri ride-hailing, tetapi juga berisiko merusak ekosistem investasi.
"Juga menghambat pertumbuhan ekonomi digital, dan mengancam kesejahteraan jutaan mitra pengemudi dan keluarganya," ujarnya dalam siaran pers, Senin (3/3/2025).
Secara hukum, hubungan antara mitra pengemudi dan perusahaan aplikasi sudah diatur sebagai kemitraan, bukan hubungan kerja.
Tertulis pada Pasal 15 Ayat (1) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 menegaskan, pengemudi dalam platform ride-hailing berstatus mitra, bukan pekerja.
Ari juga menjelaskan, pemberian THR diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016, yang mensyaratkan hanya diberikan kepada pekerja dengan hubungan kerja. "Pemberian THR direspons positif, tetapi jika pemerintah memaksakan kebijakan ini, maka akan terjadi benturan dalam tatanan-sistem hukum ketenagakerjaan yang ada," ujar Ari.
Dia mengingatkan pemerintah untuk mengadopsi kebijakan yang lebih konsisten dan visioner. "Jika regulasi dibuat sekadar untuk memenuhi tuntutan politik tanpa mempertimbangkan konsekuensi hukum, ekonomi, dan sosial, maka yang akan terjadi justru pemangkasan peluang kerja, menurunnya investasi, serta terganggunya stabilitas industri digital di Indonesia," ucap Ari.
Dia melanjutkan, jika memang ada perubahan status kemitraan maka harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Jika tidak, menurut Ari, dampaknya bisa lebih besar dari sekadar beban tambahan bagi perusahaan aplikasi.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemberian THR tidak bisa dilihat secara terpisah. Keputusan yang diambil pemerintah harus mempertimbangkan aspek hukum, ekonomi, dan sosial agar tidak mengganggu keberlanjutan industri digital.
Menurutnya, jika regulasi dibuat tanpa mempertimbangkan dampaknya secara menyeluruh, sambung dia, bukan tidak mungkin justru akan terjadi penurunan jumlah mitra pengemudi. Hal itu akibat pemangkasan peluang kerja dan berkurangnya investasi.
Sebagai negara dengan ekosistem ekonomi digital yang berkembang pesat, Indonesia perlu berhati-hati dalam menyusun regulasi terkait tenaga kerja di sektor digital. Keputusan yang diambil tidak boleh hanya berdasarkan tekanan politik, melainkan harus mempertimbangkan keberlanjutan industri, kesejahteraan mitra pengemudi, dan stabilitas investasi jangka panjang.