REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak kapan tradisi membangunkan sahur muncul tiap bulan suci Ramadhan? Prof Hindun Badari dalam makalahnya yang berjudul “al-Mushirati min Duqqat at-Thabul ila al-Insyad wa al-Aghani” menjelaskan, cikal-bakal aktivitas membangunkan sahur itu telah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Ketika itu, azan yang dikumandangkan oleh Bilal bin Rabah menjadi penanda waktu berbuka.
Pada masa itu, waktu sahur patokannya ialah azan yang dikumandangkan Abdullah bin Ummi Maktum. Ini yang melatarbelakangi hadis Rasulullah SAW, “Sesungguhnya Bilal azan menjelang malam, maka makan dan minumlah hingga mendengar azan Ibn Umm Maktum.”
Berlanjut ke masa kekhalifahan. Pada era Dinasti Bani Abbasiyah, ada beberapa daerah daulah Islam yang menyemarakkan tradisi membangunkan orang-orang kala masuk waktu sahur.
Di Mesir misalnya, Gubernur Mesir, Atabah bin Ishaq pada era pemerintahan Khalifah Dinasti Abbasiyah, al-Munthashir Billah (861-862 M), disebut-sebut sebagai al-musaharati pertama.
Ini karena pada tahun 238 Hijriyah, ia merasa terpanggil untuk berkeliling di Kota Kairo (Fustat lama) dan membangunkan penduduk untuk sahur.
Ia melakukannya dengan berjalan kaki. Tempat permulaannya berada di Kota Militer, dan berakhir di Masjid Amar bin Ash yang berlokasi di Kairo Lama, Fustat.
Ia meneriakkan ungkapan, “Wahai hamba Allah, sahurlah. Karena sesungguhnya, dalam sahur terdapat berkah.”
Sejak itulah, profesi al-musaharati sangat dihormati. Hal ini lantaran sang gubernur langsung yang mengawali turun tangan.
Yel-yel yang diteriakkan pun kian bervariatif. Apalagi, di masa Abbasiyah yang terkenal dengan kemajuan di bidang syair.
Sebagian liriknya telah menggunakan bahasa sastrawi dengan mutu tinggi. Misalnya, “Ya niyyaman quman, quman lis sahuri quman (‘wahai orang yang lelap tidur, bangunlah untuk sahur’).”
