REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana menjelaskan alasan pemerintah membangun kilang jumbo. Ia menegaskan, hal itu dilakukan demi memastikan seluruh kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) nasional diproduksi dalam negeri.
Dalam keterangan pers beberapa hari lalu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia membahas perencanaan tersebut. Negara akan membangun fasilitas pengolahan minyak (refinery) lebih besar dari target awal. Sebelumnya, 500 ribu barel per hari, kini menjadi 1 juta barel per hari.
Dadan menerangkan, saat ini Indonesia masih mengimpor minyak mentah dan produk BBM yang jumlahnya 1 juta barel per hari. "Jadi (rencana membangun kilang) tidak dalam konteks memperioritaskan fosil dan menomorduakan energi terbarukan," ujarnya kepada Republika, Rabu (12/3/2025).
Ia memastikan, fokus pemerintah terhadap pengembangan energi terbarukan tidak berubah. Bahkan ada upaya percepatan. Salah satu contohnya seperti program B40.
Menteri Bahlil menegaskan peningkatan kapasitas kilang minyak 100 persen ini, merupakan hasil ratas implementasi teknis hilirisasi bersama Presiden Prabowo Subianto. Hal itu demi menjaga ketahanan energi nasional dan sebagai perwujudan Asta Cita Kabinet Merah Putih sekaligus menghentikan ketergantuan Indonesia kepada kilang negara lain.
Salah satu pertimbangan peningkatan kapasitas kilang minyak ini yaitu adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan produksi minyak dalam negeri. Oleh karena itu, Pemerintah akan membangun terminal penyimpanan BBM (storage) dengan kapasitas yang sama dengan kilang. "Karena kita masih impor 1 juta barel per hari," jelas Bahlil.
Selain pembangunan pengolahan dan penyimpanan minyak, percepatan hilirisasi akan dilakukan pada subsektor energi lain. Pemerintah berkomitmen untuk mendorong pengembangan Dimethyl Ether (DME) sebagai olahan gas dari batubara untuk menggantikan Liquified Petroleum Gas (LPG).
Mengenai lokasi pembangunan DME, Bahlil menyinggung Sumatera dan Kalimantan ditargetkan sebagai lokasi ideal pembangunan proyek tersebut. Ini mengingat keduanya banyak mengandung cadangan batubara.
Dikutip dari laman resmi Kementerian ESDM, saat masih menjadi Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) ESDM, Dadan Kusdiana menyatakan, karakteristik DME memiliki kesamaan baik sifat kimia maupun fisika dengan LPG. Lantaran mirip, DME dapat menggunakan infrastruktur LPG yang ada sekarang, seperti tabung, storage dan handling eksisting.
Kelebihan lain adalah DME bisa diproduksi dari berbagai sumber energi, termasuk bahan yang dapat diperbarui. Antara lain biomassa, limbah dan Coal Bed Methane (CBM). Namun saat ini, batu bara kalori rendah dinilai sebagai bahan baku yang paling ideal untuk pengembangan DME.
DME memiliki kandungan panas (calorific value) sebesar 7.749 Kcal/Kg, sementara kandungan panas LPG senilai 12.076 Kcal/Kg. Kendati begitu, DME memiliki massa jenis yang lebih tinggi sehingga kalau dalam perbandingan kalori antara DME dengan LPG sekitar 1 berbanding 1,6.
Pemilihan DME untuk subtitusi sumber energi juga mempertimbangkan dampak lingkungan. DME dinilai mudah terurai di udara sehingga tidak merusak ozon dan meminimalisir gas rumah kaca hingga 20 persen. "Kalau LPG per tahun menghasilkan emisi 930 kg CO2, nanti dengan DME hitungannya akan berkurang menjadi 745 kg CO2. Ini nilai-nilai yang sangat baik sejalan dengan upaya-upaya global menekan emisi gas rumah kaca," tutur Dadan.
Di samping itu, kualitas nyala api yang dihasilkan DME lebih biru dan stabil, tidak menghasilkan partikulat matter (pm) dan NOx, serta tidak mengandung sulfur. DME merupakan senyawa eter paling sederhana mengandung oksigen dengan rumus kimia CH3OCH3 yang berwujud gas sehingga proses pembakarannya berlangsung lebih cepat dibandingkan LPG.
Kementerian ESDM melalui Balitbang, telah melakukan uji terap pemakaian DME 100 persen di beberapa wilayah di tanah air. Hasilnya menunjukkan, bahan tersebut mudah untuk menyalakan kompor, stabilitas nyala api normal, mudah dalam pengendalian nyala api, warna nyala api biru dan waktu memasak lebih lama dibandingkan LPG.