REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gejolak ekonomi global yang tengah berlangsung memberi dampak langsung terhadap berbagai sektor ekonomi nasional, termasuk industri halal. Chief Economist Bank Syariah Indonesia Banjaran Surya Indrastomo menilai, situasi ini justru bisa dimanfaatkan untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain utama dalam ekosistem ekonomi syariah dan industri halal dunia.
“Momentum turbulensi ekonomi global ini berdampak kepada ekonomi Indonesia dalam berbagai lini. Efek langsungnya terasa di pasar keuangan dengan tekanan aksi jual asing di pasar saham. Di sisi lain, pasar surat berharga kita masih dilirik asing even di tengah perbankan yang mencari likuiditas dengan melepas kepemilikan di surat berharga,” ujar Banjaran kepada Republika, Senin (14/4/2025) lalu.
Menurut dia, dampak jangka pendek dari perang dagang terutama akan terasa pada sisi ekspor, sehingga pemerintah perlu membuka ruang negosiasi untuk melindungi industri berorientasi ekspor seperti alas kaki, ban, elektronik, dan perikanan dari risiko tarif tambahan dalam 90 hari ke depan.
Terkait industri halal, Banjaran menyebut ruang pertumbuhan masih terbuka lebar, khususnya pada sektor makanan dan minuman seiring fokus pemerintah dalam program MBG yang menyasar sektor tersebut. “Momentum ini harus digunakan untuk kebangkitan industri mamin halal berdaya saing, baik domestik maupun luar negeri dengan nilai tambah halal,” ujarnya.
Ia juga menyoroti pentingnya respons dari industri kosmetik nasional terhadap pergeseran rantai pasok global, mengingat posisi Indonesia sebagai produsen utama di kawasan ASEAN. “Kebijakan Presiden Prabowo yang membuka ruang impor untuk bahan baku untuk produksi berbasis nilai tambah harus dimanfaatkan,” tegasnya.
Di sektor lain, Banjaran menilai fesyen ramah Muslim bisa menjadi solusi untuk mendorong diversifikasi ekspor dan produk dari ekosistem ekonomi syariah Indonesia. Selain itu, pariwisata halal juga patut digarap lebih serius.
“Yang lebih perlu didorong lagi adalah bagaimana sektor pariwisata dalam negeri juga dapat menarik devisa dari wisatawan Muslim seperti contohnya yang dimanfaatkan Turki saat musim haji di mana 1 juta orang Saudi berlibur dan berkunjung ke kota seperti Istanbul,” paparnya.
Pasar ekspor potensial lainnya, kata Banjaran, terletak di kawasan Timur Tengah. Ia menekankan rencana pengembangan ekonomi haji dan umrah Indonesia bisa membuka peluang ekspor baru dan menarik devisa dari penyediaan logistik makanan, penerbangan, merchandise, kain haji, dan kebutuhan lainnya.
“Salah satu tujuan ekspor yang belum termaksimalkan adalah pasar Timur Tengah, dan rencana pengembangan ekonomi haji umroh Indonesia bisa menjadi jalan untuk mengoptimalkan potensi ekspor maupun usaha menarik devisa dari penyediaan logistik makanan, penerbangan, merchandise dan kain haji, maupun kebutuhan lainnya yang dapat dipasok dari dalam negeri, dan dipasarkan di Arab Saudi,” jelasnya.
“Tidak menutup kemungkinan kita (Indonesia) akan menemukan pasar baru seperti Kuwait, Qatar, maupun UAE (Uni Emirat Arab,” tambah Banjaran.