REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Tim Kajian RUU KUHAP Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Advokat Indonesia (DPP Ikadin) Rivai Kusumanegara memberikan sejumlah masukan terhadap RUU KUHAP kepada pemerintah dan DPR selaku pengusul aturan tersebut. Terdapat beberapa masukan menarik yang disampaikan Ikadin.
Di antaranya, kewajiban penyidik untuk memberikan pinjam pakai terhadap barang sitaan dari korban atau pihak yang memiliki benda sitaan secara sah segera setelah penyidik melakukan penyitaan. Rivai menjelaskan, pinjam pakai tersebut bersifat otomatis layaknya konsep fidusia, selama ini, misalnya korban pencurian tidak dapat menggunakan barangnya karena setelah ditemukan kemudian disita penyidik sebagai barang bukti.
Sementara penyidik memiliki keterbatasan dalam merawat benda sitaan, sehingga saat dikembalikan sering dalam keadaan rusak. Dengan pinjam pakai yang bersifat otomatis, sambung dia, korban tetap dapat menggunakan barang yang disita dengan ketentuan sementara waktu tidak dapat mengalihkan benda sitaan dan sewaktu-waktu wajib menunjukan benda sitaan jika dibutuhkan penyidik, penuntut umum, atau pun hakim.
Masukan menarik lainnya terlihat dalam penjelasan Pasal 5 Ayat (1) huruf d RUU tentang kewenangan penyelidik lainnya. Ikadin mengusulkan, agar kewenangan dimaksud tidak disalahartikan maka sebaiknya dibuat penjelasan terkait larangan membuka ponsel, laptop, dan benda pribadi lainnya sepanjang belum ditemukannya bukti awal tindak pidana.
"Larangan pembukaan alat komunikasi bertujuan untuk menghormati privacy setiap orang, sebagaimana beberapa waktu lalu pernah dikeluhkan masyarakat saat razia di jalan dan menjadi viral," ucap Rivai di Jakarta, Selasa (6/5/2025).
Selanjutnya diusulkan pengaturan penggunaan senjata api dan garis batas polisi (police line) dalam RUU KUHAP. Rivai menyebut, kedua kewenangan tersebut termasuk upaya paksa dan perlu diatur pelaksanaannya, selain dapat diuji melalui praperadilan.
Demikian juga dampak penyalahgunaan senjata api jauh lebih berat dibanding penyitaan ataupun penahanan. Sehingga, ke depan korban salah tembak dapat mengajukan tuntutan melalui praperadilan. "Untuk penggunaan senjata api, kami usulkan mengikuti Perkapolri Nomor 10 Tahun 2009 dan dijadikan rumusan KUHAP," jelas Rivai.
Terkait penyidikan, Ikadin mengusulkan berlangsung selama-lamanya dua tahun agar terdapat kepastian bagi status tersangka seseorang maupun benda yang disita. Waktu dua tahun merujuk pada Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang juga membatasi dua tahun penyidikan.