Selasa 03 Jun 2025 15:47 WIB

Tak Sepakat Putusan MK Soal Sekolah Gratis, Muhammadiyah: Jangan Sampai Mematikan Swasta

Haedar mempertanyakan kemampuan negara menanggung seluruh beban biaya pendidikan.

Rep: Wulan Intandari/ Red: Fernan Rahadi
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir berbicara usai acara Ground Breaking pembangunan Gedung TK ABA Semesta di Gamping, Kabupaten Sleman, Selasa (3/6/2025).
Foto: Wulan Intandari
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir berbicara usai acara Ground Breaking pembangunan Gedung TK ABA Semesta di Gamping, Kabupaten Sleman, Selasa (3/6/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan negara menjamin pendidikan dasar gratis bagi seluruh warga negara, baik di sekolah negeri maupun madrasah dan sekolah swasta pada jenjang pendidikan dasar.

Ia mewanti-wanti jangan sampai putusan ini membuat sekolah swasta merugi dan keputusan itu justru berdampak buruk terhadap keberlangsungan pendidikan swasta di Indonesia.

"Kalau kemudian melakukan kebijakan, misalkan seperti hasil MK kemarin, itu harus seksama. Yang dasarnya, jangan sampai mematikan swasta yang justru sama dengan mematikan pendidikan nasional," ujar Haedar Nashir usai Ground Breaking pembangunan Gedung TK ABA Semesta di Gamping, Kabupaten Sleman, Selasa (3/6/2025).

Haedar berpendapat, implementasi keputusan itu termasuk penggratisan pada sekolah swasta bukan hal yang mudah. Sebagai sebuah negara besar dengan penduduk lebih dari 281 juta jiwa, tentu sangat sulit bagi pemerintah Indonesia untuk menyelenggarakan secara mandiri. Dibutuhkan kolaborasi swasta untuk mencerdaskan anak bangsa.

Haedar kemudian mempertanyakan kemampuan negara dalam menanggung seluruh beban pembiayaan pendidikan swasta di tengah keterbatasan anggaran dan tantangan pengelolaan lembaga pendidikan yang jumlahnya sangat besar.

"Kalau negara harus bertanggung jawab seutuhnya dan sepenuhnya untuk seluruh lembaga pendidikan, termasuk swasta, apa sanggup? Apakah Kemendikti dan Kemendikdasmen diberi anggaran yang cukup untuk menanggung seluruh lembaga pendidikan swasta?" ucapnya mempertanyakan.

Di sisi lain, Haedar menegaskan bahwa lembaga pendidikan swasta, termasuk Muhammadiyah, memiliki semangat kuat untuk terus berkembang dan adaptif terhadap dinamika zaman. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah dan para pemangku kebijakan dapat kembali mempertimbangkan realitas lapangan sebelum mengeluarkan kebijakan strategis.

Dalam hal ini, Haedar menyampaikan bahwa Muhammadiyah tak sepakat dengan keputusan tersebut. Meski menolak putusan MK, ia membuka ruang dialog mengenai implementasi kebijakan tersebut agar tetap berpihak pada keberlangsungan pendidikan swasta.

"Perhatikan realitas pendidikan dan dunia pendidikan Indonesia, di mana swasta punya peran yang sangat strategis," ujarnya.

"Betul (Muhammadiyah tak sepakat dengan putusan MK). Atau kita sarankan implementasinya, di mana, satu, swasta tetap dikoneksi dengan tanggung jawab pendidikan negeri, tapi beri keleluasaan. Apalagi kan ada fenomena negeri-negeri saja diberi badan hukum, yang memberi kemungkinan mereka mengembangkan usaha atau bisnis dan pendidikan, padahal itu negara," katanya.

Haedar menekankan pentingnya kesetaraan keleluasaan antara institusi negeri dan swasta dalam mengelola lembaga pendidikan.

"Kalau keran itu ditutup untuk swasta, bukan hanya kami Muhammadiyah, bangsa yang rugi. Jadi, implementasi dari MK itu perlu saksama, komprehensif, dan tetap berpijak pada realitas pendidikan Indonesia di mana swasta punya peran strategis," ungkapnya.

Terkait kemungkinan mengajukan judicial review terhadap putusan MK, Muhammadiyah memilih untuk menunggu dan mengamati bagaimana kebijakan ini akan diterjemahkan oleh pemerintah.

"Kita lihat perkembangannya. Kalau kemudian penerjemahannya seperti yang disampaikan oleh Pak Menteri Pendidikan, itu hanya payung umum yang payung operasionalnya tetap seperti sekarang ini, atau ada hal-hal yang nanti berdampak buruk, baru di situ kita mengambil kebijakan, ya. Kita tidak akan tergesa-gesa, tapi kita memberi pandangan agar ke depan semuanya saksama," ucap Haedar.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Permohonan ini diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia. Hal yang dikabulkan oleh MK yakni soal negara wajib menjamin pendidikan dasar gratis baik untuk sekolah negeri maupun madrasah atau swasta untuk pendidikan dasar.

Adapun pendidikan dasar yang dimaksud dalam UU tentang Sistem Pendidikan Nasional itu yakni SD hingga SMP atau bentuk lain yang sederajat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2).

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement