Meja untuk komunitas PMB 60-an di dekat pintu masuk itu sudah penuh ketika Rachmat Witoelar dan Erna Witoelar datang. Di sebelahnya ada meja untuk komunitas lain, tetapi kosong, dan Rahmat berusaha mengangkat kursi-kursi biar ia bisa menyatukan meja itu dengan meja PMB 60-an.
Datang bantuan dari pihak hotel untuk menyatukan dua meja itu. Di meja itu, antara lain ada Martiono Hadianto, Joni P Soebandono, Dedi Panigoro, Herman Afif Kusumo. Mereka tetap santuy kendati menempati meja di belakang sebelah kanan pintu masuk.
Mereka sudah kakek-nenek, yang dulu berkuliah di Bandung. Di acara yang berlangsung di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, Ahad (29/6/2025), Guntur Soekarnoputra yang sudah berusia 80 tahun, mendapat “honor” Rp 15 ribu. Untuk apa?
Reuni itu diikuti oleh 10 komunitas yang pernah ada di Bandung. Selain Bangbayang dan PMB, ada Mara 27, Wanadri, Mahawarman, Viatikara, Teposh, Infra, WWK, dan teman-teman Bandung 1960-an.
Meja Bangbayang ada di depan sebelah kiri dan tengah depan pintu masuk. Meja Mara 27 ada di sebelah kiri pintu masuk. Meja Wanadri ada di depan sebelah kanan dan depan meja PMB 60-an.
Ketika Aburizal Bakrie datang, ia hendak duduk di meja Bangbayang depan pintu masuk, tetapi ia segera dipanggil ke depan lantaran Bangbayang sedang berada di panggung, membuka acara dengan bernynyi lagu “Halo-Halo Kita Jumpa Lagi” yang dipopulerkan Andi Meriam Matalata. Di antara mereka ada pula Sri Bintang Pamungkas.
Beberapa lagu kemudian dinyanyikan oleh komunitas Bangbayang, termasuk lagi “Padamu Negeri” dan “Halo-Halo Bandung”. Lagu “Halo-Halo Bandung”, menurut Muslimin Nasution, dinyanyikan mahasiswa Bandung saat bereliling Bandung bersama Gubernur Jabar Mashudi agar massamenghentikan aksi bakar Bandung.
Saat itu, 10 Mei 1963, kerusuhan tidak hanya pecah di Bandung, tetapi juga di beberapa kota di Jawa Barat. Padahal, Mahasiswa ITB hendak menyelesaikan perselisihan dengan mahasiswa etnis Cina di dalam kampus.
Hari itu setelah terjadi perkelahian, mahasiswa menutup kampus ITB. Tak boleh ada yang keluar, tak boleh ada yang masuk. Tak disangka, di luar kampus ITB, kerusuhan meletus di beberapa titik di kota Bandung, merusak toko-toko milik warga Cina.
Kisah yang disampaikan oleh Muslimin Nasution (usia 89 tahun) sebelum ia memimpin doa untuk memulai acara reuni, menjadi bagian yang paing serius di acara yang diadakan di Hotel Grand Kemang itu. Selebihnya, adalah bersenang-senang. Masing-masing komunitas diberi kesempatan untuk tampil di panggung, bernyanyi.
Dari Mara 27, di antaranya ada Mohamad S Hidayat dan Tety Kadi. Suami Tety Kadi merupakan penyar Radio Mara. Di WWK di antaranya ada Iin Parlina. Dari Wanadri, di antaranya ada Iwan Abdurahman dan Teddy Kardin.
Guntur Soekarnoputra ada di meja Teman-Reman Bandung 1960-an. Ia tampil bernyanyi, berduet dengan Tety Kadi. Ketika bernanyi lagu Sunda, Iwan Abdurahman mengirinya dengan petikan gitar.
Guntur juga membawakn halo “Bintang Kecil” dalam irama keroncong. Di usianya yang sudah 80 tahun, Guntur bisa membawakan lagu “Rungkad” tanpa memakai bantuan papan lirik.
Sebelum memulai bernyanyi, Guntur bertanya kepada MC, apakah dirinya dibayar atau tidak, sementara band yang bermain dibayar? Ketika MC menjawab tak kuat membayar, Guntur kembali bertanya, “Dibayar atau tidak, meski numa Rp 10 ribu? Kalau tidka dibayar saya turun nih.”
“Dibayar,” jawab MC.
Guntur pun lalu berkata kepada Tety Kadi, “Nanti honornya kita bagi dua.” Ketika MC menyerahkan Rp 15 ribu ke Guntur, yang Rp 5.000 segera diberikan kepada Tety Kadi.
Selesai bernyanyi, Guntur menyodorkan Rp 50 ribu kepada gitaris yang mengirinya. Tekor dong.
Ketua Panitia Reuni Andi Sahrandi mengatakan, reuni 10 komunitas ini bisa terlaksana karena mereka adalah sahabat sejak remaja hingga kakek-nenek. Bahkan ada yang bergabung di banyak komunitas. Andi, misalnya, ia bergabung di PMB, Bangbayang, Mahawarman, Teposh, WWK.
Untuk komunitas teman-teman Bandung 60-an, kebanyakan perorangan. Seperti Guntur Soekarnoputra, yang hari itu tampil dan dapat "honor" dari MC.
Di Bangbayang, kata Koordinator Bangbayang, Basye, tak semua serius. “Saya selalu hereuy, sedangkan Muslimin serius, tapi bisa bersatu,” kata Basye saat di oanggung menceritakan persahabatan di Bangbayang.
Untuk membuat persahabatan di Bangbayang lebih berarti, mereka membentuk Yayasan Persaudaraan Bangbayang Enam-Enam. Dari 45 orang pendiri yayasan, kini tinggal 17 orang.
Yayasan ini mengelola Uni Sadhu Guna Business School (STIE Uni Sadhu Guna) di Cilandak. Juga mengelola lembaga kursus bahasa, The British Institute (TBI), yang memiliki dua belas cabang di berbagai kota.
Uni Sadhu Guna juga menjalin kerja sama dengan University of New South Wales di Sydney, Australia, untuk persiapan belajar di Australia. Untuk persiapan belajar di Inggris, Uni Sadhu Guna bekerja sama dengan Edexcel, badan ujian dan pendidikan multinasional Inggris.
Kata Andi Sahrandi, anggota Bangbayang tidak mengambil keuntungan dari bisnis ini. Selain itu, juga ada rekening yang menampung sumbangan anggota. Hanya bendahara yang tahu siapa menyumbang berapa.
Saya sebagai tamu tak diundang, hanya sempat menyapa beberapa orang dengan para peserta yang datang beberapa jam sebelum acara dimulai. Di antaranya, Iwan Abdurahman, Martiono Hadianto dan Joni P Subandono.
Saat menyapa Joni, saya ceritakan pernah bertemu sebuah restoran di Yogyakarta. Rupanya dia ingat. Saat itu ia bersepeda di Yogya, mampir di sebuah restoran.
Sehabis makan siang, saya lihat Teddy Kardin sedang merokok di teras. Oh ya, saat makan, banyak di antara mereka yang menyantap kambing guling.
Saya pun menghampiri Teddy di tempat ia merokok bersama penulis novel Kepundan, Syafiril Erman, ingin menggali cerita darinya. Salah satu yang saya tanyakan kepadanya adalah dilibatkannya orang-orang Dayak di Timtim dan di pembebasan sandera di Mapenduma.
Saya ceritakan kisah pendakian Cartensz oleh Belanda untuk membuktikan benar tidaknya kesaksian Cartensz ada gunung di Papua yang puncaknya dilapisi salju. Pendakian itu melibatkan belasan orang Dayak.
“Prabowo suka baca buku. Pendakian Cartensz semula selalu gagal, lalu dibebaskan orang-orang Dayak dari penjara untuk dibawa ke pendakian,” kata Teddy yang menjadi pelatih jungle survival dan mengesan jejak (sanjak) di lingkungan militer.
Teddy adalah anggota Wanadri dan geolog yang mendapat keterampilan sanjak dari orang-orang Dayak saat bekerja di Kalimantan. Hal itu ia ceritakan kepada Prabowo, ketika Prabowo meminta dirinya melatih tentara sebelum dikirim ke Timtim pada 1985.
Berbincang dengan Teddy di teras, tak jauh dari mobil ambulans yang disiagakan panitia, tentu membuat saya kehilangan beberapa momen di acara reuni. Selesai berbincang, kami bergabung lagi di acara reuni.
Di penghujung acara, tiba-tiba Teddy ada di samping saya berdiri. Ia mengaku puas mengikuti reuni itu. “Acaranya sukses. Meriah,” kata Teddy.
Priyantono Oemar