REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menanggapi soal pengumuman kebijakan tarif dari pemerintah Amerika Serikat (AS) terhadap Indonesia yang sebesar 32 persen. Menurutnya, respons pasar atas pengumuman tersebut cenderung lebih terkondisikan dibandingkan pengumuman Presiden AS Donald Trump sebelumnya pada April 2025 lalu.
“Tentu kita semua mencermati perkembangan ini, dan terlihat bahwa di tahap awal ini reaksi dari pasar keuangan berbeda dibandingkan dengan bulan Maret dan April. Pada saat ini relatif lebih terbatas dan mungkin masih lebih banyak mencerna terhadap apa yang terjadi,” ujar Mahendra dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK Bulan Juni 2025 yang digelar secara daring, Selasa (8/7/2025).
Mahendra mengatakan, pasar tengah mencerna pengumuman kebijakan tarif Trump tersebut, sembari melihat perkembangan yang akan berlangsung sampai 1 Agustus 2025, yang merupakan tanggal ditetapkannya efektif per surat. Ataupun perkembangan terakhir dari posisi Pemerintah AS yang bisa saja masih bisa berubah.
“Dalam kaitan itu, dan menghadapi perkembangan yang cepat tadi, maka OJK senantiasa melakukan pemantauan secara cermat, dan terhadap potensi dampak yang dapat terjadi terhadap stabilitas sektor jasa keuangan secara nasional dan melakukan langkah-langkah mitigasi dan respons yang tepat,” ujarnya.
Lebih lanjut, Mahendra menjelaskan, berkaitan dengan perkembangan pasar keuangan, sebagai respons atas volatilitas yang signifikan di pasar keuangan domestik, pada Maret dan April lalu OJK dan Bursa Efek Indonesia (BEI) telah melakukan sejumlah kebijakan yang bersifat mitigatif. Kebijakan-kebijakan pada saat itu disebut masih berlaku hingga sekarang.
“OJK dan Bursa telah melakukan serangkaian kebijakan antisipatif dan mitigatif yang pada saat itu diterapkan, dan masih berlaku sampai saat ini dan sebagiannya lagi dapat diaktivasi sewaktu-waktu diperlukan,” ungkapnya.
Baik itu kebijakan mengenai transaksi efek, kebijakan terkait pengelolaan investasi maupun stimulus dan relaksasi bagi pelaku industri, itu dapat diterapkan sewaktu-waktu. Juga kebijakan mengenai pelaksanaan pembelian kembali (buyback) saham oleh emiten tanpa rapat umum pemegang saham (RUPS).
“Pelaksanaan pembelian kembali buyback saham oleh emiten tanpa RUPS tetap berlaku. Begitu juga kebijakan penundaan implementasi pembiayaan transaksi short selling oleh perusahaan efek masih berlaku,” terangnya.
Sedangkan, penerapan fitur asymmetric auto rejection (ARR) di Bursa, yang dimaksudkan untuk meredam gejolak harga yang tidak mencerminkan nilai fundamental tetap berlaku secara permanen.
“Tentunya diharapkan kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah itu tetap akan menjaga kepercayaan investor mendukung fungsi intermediasi pasar secara optimal dan memastikan stabilitas sistem keuangan terjaga baik sekalipun berhadapan dengan kondisi eksternal yang terjadi,” ujarnya.
Mahendra melanjutkan, selain itu juga sejak Maret atau April 2025, OJK telah meminta lembaga jasa keuangan (LJK) di seluruh bidang untuk pro-aktif melakukan asesmen risiko dan stress test secara berkala atas ketahanan permodalan dan kecukupan likuiditas. Termasuk memantau kinerja debitur di sektor-sektor yang berpotensi terdampak dari penerapan tarif impor oleh AS.
“Secara menyeluruh tentu OJK di bawah koordinasi oleh Pemerintah akan ikut merumuskan tahapan atau posisi resmi Indonesia dan juga tentu secara pro-aktif dikoordinasikan oleh Pemerintah dalam merumuskan kebijakan dan langkah-langkah mitigasi yang lebih menyeluruh, yang sedang dan mungkin akan diambil terhadap industri-industri tertentu maupun perekonomian secara menyeluruh,” tutupnya.