Oleh : Taufik Nurrohim, S.Psi, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat, Anggota Pansus RPJMD 2025-2029
REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Visi “Jawa Barat Istimewa, Lembur Diurus, Kota Ditata” adalah janji politik sekaligus amanat ideologis. Namun, visi tak boleh berhenti di ranah slogan.
Dalam konteks pembangunan jangka menengah, makna “istimewa” harus dirumuskan melalui ukuran teknokratis yang bisa diverifikasi: apakah kita mampu menurunkan angka pengangguran? Apakah tingkat kemiskinan benar-benar menurun? Apakah akses air bersih, listrik, pangan, dan pekerjaan tersedia lebih adil? Jika tidak, maka kita hanya mengulang retorika tanpa reformasi.
RPJMD Jawa Barat 2025-2029 adalah instrumen politik sekaligus teknokratis yang disahkan pada 19 Juli 2025, di tengah situasi sosial-ekonomi yang penuh tantangan. Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada 2023 masih tertahan di angka 5,05 persen.
Sementara itu, tingkat pengangguran terbuka sebesar 6,75 persen tertinggi se Indonesia, angka kemiskinan 7,08 persen, dan ketimpangan yang ditunjukkan Gini Ratio 0,379 menggambarkan ketimpangan struktural yang belum tertangani serius.
Di sinilah peran RPJMD: bukan sekadar rencana, tetapi medan pertempuran politik untuk membuktikan keberpihakan negara pada rakyat kecil.
Target pertumbuhan ekonomi 7,95 persen bukan sekadar ambisi ekonomi, tetapi janji kolektif pembangunan yang lebih adil, lestari, dan inklusif. Ini medan ujian apakah negara hadir untuk semua, atau hanya untuk segelintir pemodal.
Pertumbuhan tidak bisa lagi dibiarkan mengalir ke pusat kekuasaan ekonomi saja. Maka dari itu, RPJMD ini mencoba membangun kerangka transformasi struktural melalui tiga pendekatan utama: pemerataan pembangunan wilayah, pembangunan ekonomi hijau, dan penguatan daya saing daerah.
Investasi: Antara Akselerasi dan Distribusi Keadilan
RPJMD menargetkan lonjakan realisasi investasi dari Rp 187,26 triliun (2023) menjadi Rp 373,17 triliun (2029), dengan akumulasi Rp 1.741 triliun selama lima tahun. Namun, angka besar bukanlah jawaban jika distribusi tetap timpang.
Dokumen ini dengan tegas menyebut perlunya mengurangi disparitas wilayah, terutama antara Jabar bagian selatan dan wilayah tengah-utara yang lebih maju secara infrastruktur dan industri.
Pembangunan kawasan Segitiga Rebana, TOD Padalarang, dan konektivitas antarwilayah menjadi penghela utama, tetapi RPJMD juga mulai menyentuh wilayah-wilayah dengan potensi besar namun selama ini terabaikan.
Pemerintah perlu lebih progresif dalam mengarahkan investasi ke sektor produktif yang menyerap tenaga kerja, bukan hanya ke sektor properti dan pertambangan yang padat modal dan rawan konflik agraria.
Industrialisasi dan Hilirisasi
RPJMD menegaskan pentingnya hilirisasi industri berbasis sumber daya lokal dan penguatan industri kecil-menengah.
Ini langkah penting untuk membangun fondasi ekonomi dari bawah, berbasis potensi lembur (desa) dan masyarakat. Kopi Garut, tenun Tasikmalaya, ikan Pangandaran, hingga produk agro Cianjur, harus masuk ekosistem industri desa.
Langkah konkret ditunjukkan melalui prioritas penguatan vokasi, inkubasi UMKM, teaching factory di SMK, dan kemitraan pelaku usaha besar-menengah-kecil. Industrialisasi dalam RPJMD bukan sekadar jargon ekonomi, tetapi instrumen distribusi nilai tambah yang lebih adil bagi rakyat.
Pembangunan Manusia dan Layanan Dasar: Mewujudkan Kota yang Ditata
RPJMD tidak hanya bicara infrastruktur fisik, tapi juga menyentuh urat nadi pelayanan dasar: pendidikan, kesehatan, air bersih, dan energi.
Target cakupan air minum layak 90 persen, konsumsi listrik per kapita 1.750 kWh, dan bauran energi baru terbarukan (EBT) 30 persen merupakan langkah teknokratis yang konkret.
Namun, yang harus dijaga adalah pembangunan ini harus memihak daerah tertinggal dan pinggiran. Kota yang ditata bukan berarti sekadar estetika, tapi akses yang adil terhadap layanan dasar.
Kedaulatan Sumber Daya: Pangan, Air, dan Energi
RPJMD juga menyuarakan kedaulatan atas sumber daya dasar. Jawa Barat saat ini mengalami defisit pangan, terutama beras (2,2 juta ton) dan kedelai (di atas 86 persen).
Karena itu, RPJMD mendorong swasembada pangan melalui skema berlapis: peningkatan produktivitas, penguatan kelembagaan petani, dan hilirisasi produk pertanian. Namun lebih dari itu, RPJMD menunjukkan keberanian politik untuk mempertahankan lahan produktif dari ancaman alih fungsi dan spekulasi tanah.
Pada isu energi, pembangunan PLTS desa, mikrohidro, dan jaringan biomassa diarahkan tidak hanya untuk meningkatkan akses, tetapi juga menggerakkan ekonomi desa. Jika dikelola dengan baik, ini akan menjadi tonggak ekonomi hijau di tingkat lokal.
Menegaskan Jalan Ideologis Pembangunan
RPJMD Jawa Barat memuat 11 arah kebijakan dan strategi pembangunan yang cukup komprehensif. Namun, yang paling menentukan adalah eksekusinya.
Apakah kebijakan afirmatif untuk UMKM, nelayan, petani, buruh, perempuan, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat bisa benar-benar dijalankan? Ataukah akan berhenti sebagai daftar panjang tanpa pelaksanaan?
Di sinilah peran DPRD, kelompok masyarakat sipil, dan media menjadi vital untuk memastikan RPJMD bukan sekadar konsensus elite melainkan agenda rakyat. RPJMD ini peluang sejarah untuk menata ulang relasi kekuasaan ekonomi, memperkuat basis produksi rakyat, dan menegakkan keadilan ekologis di tengah ancaman krisis iklim.
Pembangunan Jawa Barat tidak boleh dijalankan dalam kekosongan ideologis. RPJMD ini memuat potensi untuk membangun arah pembangunan yang bercorak kerakyatan, berkelanjutan, dan berbasis keadilan spasial.
Namun, tanpa pengorganisasian politik yang kuat, tanpa keberanian untuk menghadang kepentingan korporasi predatorik, dan tanpa partisipasi publik yang aktif, semua itu hanya akan menjadi dokumen indah tanpa dampak riil.
Sebagai anggota Pansus RPJMD, saya mengajak seluruh pemangku kepentingan menjadikan RPJMD ini sebagai arena perjuangan kolektif.
Bukan sekadar lima tahun administrasi, tetapi lima tahun penentuan apakah Jawa Barat akan tetap menjadi provinsi dengan ketimpangan tinggi atau menjadi provinsi yang istimewa karena keberpihakannya pada rakyat kecil, desa, dan pada keadilan.