REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 13 asosiasi biro perjalanan (travel) haji dan umrah menyikapi secara serempak Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Seperti diketahui, RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 itu akan dibahas DPR RI.
Ketua Umum Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri), Firman M Nur, mengatakan, belasan asosiasi jasa travel haji dan umrah itu telah duduk bersama. Mereka lantas sepakat untuk menyatukan usulan terkait masa depan industri haji dan umrah di Tanah Air.
"Insya Allah, kami akan melakukan silaturahim dan dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR, fraksi-fraksi, serta ormas-ormas besar," ujar Firman kepada awak media di Kantor Amphuri, Jakarta Selatan, Jumat (1/8/2025).
Seluruh asosiasi travel berharap adanya keberlangsungan usaha serta kepastian hukum bagi penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU) dan penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK). Selain itu, Firman menegaskan, regulasi yang akan dibentuk harus selaras dengan perkembangan zaman dan dinamika yang terjadi, khususnya di Arab Saudi sebagai negara tujuan.
"Kita ingin memastikan bahwa undang-undang ini benar-benar adaptif terhadap kondisi di Saudi dan negara-negara lain," ucap Firman.
Pihaknya juga akan mengadu ke DPR RI perihal ketimpangan antara jumlah PIHK yang terus bertambah, yakni dari 300 unit menjadi 910 unit. Padahal, dalam draf RUU, kuota dibatasi maksimal 8 persen.
Menurut Firman, hal ini cenderung kontradiktif dengan semangat RUU yang ingin menghadirkan pengelolaan haji dan umrah yang akuntabel, amanah, serta berbasis data dan teknologi.
Selain itu, ia berharap agar dalam RUU ini ada klausul yang memberikan ruang pilhan bagi masyarakat. Misalnya, opsi upgrading dari haji reguler ke haji khusus.
"Kami berharap, badan layanan umum (BLU) yang disebut dalam RUU nanti juga memberi ruang kepada kami pelaku usaha untuk turut memberikan layanan yang baik. Termasuk dalam hal ini memberi opsi layanan yang lebih baik bagi jamaah reguler," kata dia.
Pihaknya juga menolak keras penggunaan istilah umrah mandiri dalam RUU tersebut. Menurut Firman, hal itu akan melemahkan perlindungan terhadap jamaah haji dan umrah Indonesia. Di samping itu, ekosistem haji dan umrah yang telah lama dibangun pun dapat saja kolaps.
"Kami menentang istilah haji mandiri atau umrah mandiri karena itu membuka celah lemahnya perlindungan jamaah. Negara harus hadir untuk memastikan ekosistem yang berkah dan sehat bagi semua," ucap Firman.