Jumat 15 Aug 2025 10:28 WIB

Minimnya Edukasi UU Hak Cipta Dinilai Jadi ‘Biang Kerok’ Kisruh Royalti

Edukasi terkait UU Hak Cipta dirasa belum merata di 38 provinsi.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Penyanyi Lesti Kejora menyampaikan keterangan sebagai saksi pada sidang uji materiil UU nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (22/7/2025). Sidang tersebut beragendakan mendengarkan keterangan dua orang saksi dan dua orang ahli dari pemohon. Selain itu sidang tersebut juga dihadiri oleh sejumlah pemohon dari kelompok musisi yang tergabung dalam Vibrasi Suara Indonesia atau VISI yakni Ariel Noah dan  Armand Maulana.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Penyanyi Lesti Kejora menyampaikan keterangan sebagai saksi pada sidang uji materiil UU nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (22/7/2025). Sidang tersebut beragendakan mendengarkan keterangan dua orang saksi dan dua orang ahli dari pemohon. Selain itu sidang tersebut juga dihadiri oleh sejumlah pemohon dari kelompok musisi yang tergabung dalam Vibrasi Suara Indonesia atau VISI yakni Ariel Noah dan Armand Maulana.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat musik Buddy Ace menyatakan polemik royalti musik di Indonesia terus berlarut karena belum adanya pemahaman yang sama antara pemerintah, pencipta lagu, dan para pengguna karya musik. Menurut dia, ketidaksepahaman ini dipicu minimnya edukasi dan sosialisasi UU Hak Cipta.

"Sampai saat ini, edukasi terkait Undang-undang Hak Cipta belum merata di 38 provinsi. Akibatnya terjadi multi tafsir di masyarakat, bahkan di kalangan musisi sendiri," kata Buddy saat dihubungi Republika.co.id pada Kamis (14/8/2025)

Baca Juga

la juga mendorong pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum untuk kembali menelaah Konvensi Bern yang telah diratifikasi Indonesia melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 18 Tahun 1997. Pasalnya menurut Buddy, penerapannya baru mulai terasa setelah hadirnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, yang kemudian diganti dengan UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

"Konvensi Bern ini penting karena mengatur perlindungan otomatis tanpa perlu pendaftaran, menjamin hak moral dan ekonomi pencipta, serta memastikan perlakuan non-diskriminatif bagi pencipta lokal maupun asing. Tapi pemahaman atas ini belum merata," ujar Buddy.

Sebagai langkah konkret, Buddy mengusulkan agar Presiden Prabowo mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) atau regulasi setingkat guna menunjuk lembaga resmi yang bertanggung jawab dalam edukasi dan sosialisasi royalti musik secara terpadu. la pun menekankan pentingnya keterlibatan lintas kementerian dalam upaya ini.

Kementerian Kebudayaan, menurutnya, harus mengambil peran dalam membentuk perubahan mindset masyarakat agar lebih menghargai karya cipta. Kementerian UMKM juga perlu dilibatkan karena sebagian besar pengguna lagu dalam kehidupan sehari-hari berasal dari pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah.

Selain itu, Kementerian Pariwisata juga harus terlibat, mengingat banyak karya musik diputar di hotel, restoran, dan kafe yang merupakan bagian dari destinasi wisata. "Tak kalah penting, Kementerian Ekonomi Kreatif juga harus mengambil bagian, karena karya cipta merupakan bentuk kreativitas yang memiliki nilai ekonomi bagi para pencipta dan musisi," kata dia.

Polemik seputar pengelolaan royalti terus bergulir di industri musik Tanah Air. Baru-baru ini, musisi Ari Lasso mengajukan petisi untuk mengaudit Wahana Musik Indonesia (WAMI), karena dinilai tidak transparan dalam tata kelola royalti. Musisi Tompi bahkan memutuskan keluar dari keanggotaan WAMI. 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement