REPUBLIKA.CO.ID,sURABAYA--Kasus pembajakan perangkat lunak atau software di Indonesia masih tergolong tinggi akibat rendahnya kesadaran masyarakat dan masih belum maksimalnya upaya penindakan terhadap kejahatan jenis ini.
Kepala Perwakilan "Business Software Alliance" (BSA) Indonesia, Donny A Sheyoputra, kepada wartawan di Surabaya Rabu menjelaskan, dari hasil survei terhadap 100 negara yang dilakukan sebuah lembaga independen, Indonesia menduduki peringkat ke-12 sebagai pengguna software bajakan terbesar.
"Sekitar 86 persen dari seluruh `software` yang beredar di Indonesia masuk kategori bajakan. Salah satu penyebabnya karena kesadaran masyarakat untuk menggunakan software legal dan berlisensi masih rendah," ucapnya.
Sampai dengan akhir 2009, Lanjut Donny, potensi kerugian yang dialami produsen perangkat lunak dari kasus pembajakan itu mencapai 886 juta dolar AS.
Ditemui usai penandatanganan nota kesepahaman BSA dengan Polda Jatim, Donny mengatakan, BSA, Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (PPHKI) dan kepolisian, terus melakukan sosialisasi dan kampanye melawan pembajakan.
"Sejak peluncuran kampanye nasional antipembajakan software pada Oktober 2010, kami telah menjalin kerja sama dengan sejumlah kepolisian daerah. Kerja sama dengan Polda Jatim sudah terjalin sejak 2007," ujar Donny, menambahkan.
Selain sosialisasi, kerja sama itu juga ditindaklanjuti dengan upaya penegakan hukum terhadap pelaku pembajakan software, terutama distributor atau perusahaan yang menggunakan perangkat bajakan untuk kegiatan komersial.
"Kami juga memberikan pelatihan dan pemahaman kepada anggota kepolisian mengenai teknik penyidikan software bajakan. Selain itu, kami juga beberapa kali membantu polisi sebagai saksi ahli dalam penanganan kasus tersebut," paparnya.
Kepala Direktorat Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Jawa Timur, Kombes Pol Drs Suroto MSi mengatakan, dalam penanganan kasus pembajakan perangkat lunak, pihaknya harus bekerja selektif dan tidak bisa seenaknya melakukan sweeping ke perusahaan-perusahaan.
"Polisi tidak bisa langsung melakukan sweeping (razia) tanpa ada ada laporan yang jelas dari masyarakat, karena harus mempertimbangkan berbagai aspek. Ada skala prioritas yang menjadi sasaran, salah satunya distributor software," katanya.
Suroto mengungkapkan sejak tahun 2005 hingga 2010, Polda Jatim telah menangani sekitar 1.050 kasus pembajakan software di beberapa daerah dan sebagian di antaranya sudah dilimpahkan ke pengadilan.
Ia mengakui belum semua penyidik di jajaran Polda Jatim mengetahui kriteria software legal dan bajakan, sehingga diperlukan pemahanan lebih mendalam agar penanganan kasus itu menjadi lebih maksimal.
"Kami memerlukan informasi dari BSA mengenai produk-produk software berlisensi dan teknik penyidikannya juga perlu ditingkatkan," katanya menambahkan.