REPUBLIKA.CO.ID, Lawan nomor satu Anonymous jelas aparat hukum dan grup ini bukanya tidak terjamah oleh hukum. Awal maret lalu grup ini mendapat pukulan setelah anggota sub grup komunitas, LulzSec yang diciduk oleh FBI Juni lalu dipaksa untuk bekerjasama
Sabu, julukan peretas LulzSec, Anti-Sec sekaligus anggota komunitas lebih luas, Anonymous, yang ditangkap adalah seorang pengangguran sekaligus ayah dua anak yang tinggal di New York, bernama Hector Monsegnur. Setelah diancam anaknya akan diambil oleh negara dan ia dilarang bertemu mereka seumur hidup serta kemungkinan dipenjara 124 tahun, Monsegnur bersedia bekerjasama dengan mengungkap nama-nama peretas lain
Sebagai hasil, sejumlah peretas berpangkat perwira tinggi di LulzSec ditangkap. Mereka adalah Ryan Ackroyd, alias “Kayla” dan Jake Davis, alias “Topiary,” keduanya dari London; lalu Darren Martyn, alias “pwnsauce” dan Donncha O’Cearrbhail, alias “palladium,”dua-duanya dari Irlandia; dan Jeremy Hammond alias “Anarchaos,” asal Chicago.
“Penangkapan ini menghancurkan organisasi,” klaim seorang petugas FBI yang terlibat dalam penyelidikan. “Kami memenggal kepala LulzSec.”
Selama beberapa tahun Monsegnur sebagai Sabu dianggap sebagai anggota paling mencolok dan vokal dari satu sayap Anonymous. Ia dikenal luas sebagai arsitek sejumlah serangan kakap yang diluncurkan LulSec bekerjasama dengan Anti-Sec dengan tajuk “50 Days of Lulz” pada 2011. Tujuan serangan ialah menyerang keamanan online perusahaan yang berafiliasi dengan pemerintah AS.
Insiden itu pun menimbulkan pertanyaan. Akankah Anonymous bertahan? Mau tak mau peristiwa menimbulkan pengaruh nyata bagi aktivitas Anonymous sekaligus tidak mudah bagi grup karena mereka kehilangan beberapa sosok yang memiliki kombinasi hasrat menyerang dan kemampuan teknis tinggi untuk terlibat dalam operasi.
Tetapi sepertinya, insiden itu tak terlalu melambatkan mereka. Bahkan ketika ‘pengkhianatan’ Sabu terungkap dengan membeberkan informasi para anggotanya, Anonymous masih sibuk meretas situs Panda Security.
Sepanjang bukan sosok yang menjadi acuan, maka ide tak pernah mati dan kebal peluru. Kini muncul lagi, dalam salah kanal IRC Anonymous, muncul sub-kanal #rebuildLulzSec, dengan orang-orang baru dan tentu dengan target baru untuk diserang.
Anonymous tak hanya berhadapan dengan aparat, ada pula peretas lain yang membenci kehadiran legiun tanpa nama itu. Salah satunya th3j35t3r (the jetster). Menggunakan analogi Kota Gotham Digital dengan penjara kesohor Arkham Asylum, pengamat peretas, Scot Terban, menyebut jetster layaknya sosok yang ingin menjadi Batman hingga menyaru dengan memakai kostumnya.
Karena hanya sekadar Batman Wannabe, Jester, dianggap gagal menghadirkan perubahan nyata dalam peperangan ini. Semua upaya yang ia lakukan tidak memberi kontribusi
Beberapa kali Jester membuat klaim bahwa ia telah melakukan sesuatu setelah melihat kameradnya sekarat di tangan Jihadis. Ia juga melontarkan pernyataan yang sama ketika menyerang Anonymous saat grup itu menyasar sejumlah data yang berpotensi membahayakan.
Motivasi Jester, menurut Scott, masih berbau narsisisme, mencari perhatian media seperti yang pernah ia dapat di masa lalu. Alih-alih menetralkan Anonymous, ia ikut menjadi bagian dari masalah .
Masih menggunakan analogi Batman, Scott menyebut , LulzSec laiknya, 'The Riddler'. Sempalan Anonymous ini, ujar Scott muncul karena beberapa anon menganggap konstruksi moral dan etos Anonymous lemah. Tak puas hanya menjadi prankster, mereka ingin menunjukkan pada siapa pun bahwa mereka lebih cerdas dan bisa lolos dari hukum. Namun anggapan itu tak terbukti.
Jangan salah, memang tak semua orang suka dengan keberadaan Anonymous, apalagi gagasan yang mereka bawa lebih mengarah pada ketidakpatuhan sipil dan chaotic freedom (We Are The Legion, The Story of Hactivism). Alhasil mereka kerap dipojokkan sebagai kelompok yang dibenci sekaligus disukai.
Anonymous mengandalkan terutama tiga taktik: perusakan situs, melakukan serangan distribution denial of service (DDoS/serbuan yang membuat situs menolak beroperasi ) dan pencurian data. Semua ini ilegal. Dua yang pertama nyata-nyata melanggar kebebasan berbicara dan yang ketiga jelas kejahatan siber. Beberapa anon mengklaim bahwa DDoS ialah bentuk ketidaktaatan sipil semata, namun menurut Oxblood Ruffin, anggota Cult of the Dead Cow sekaligus pencetus Hacktivisme, pernyataan itu sulit ditelan.
Anonymous dan penirunya, ujarnya, bertanggung jawab atas tren berlebihan di spoionasi siber. Umumnya data yang dicuri dilakukan oleh pemerintah atau korporasi dan pernah dipublikasikan. Namun tidak dengan Anonymous. Beberapa konsumen kadang menyaksikan kartu kredit mereka dibobol dan data mereka diungkap ke publik. Jadi, gerakan mereka bukanya tanpa korban tak berdosa sama sekali.
“Memang tidak adil hanya menyalahkan Anonymous sepenuhnya. Ia hanya bagian dari masalah. Namun Anonymous harus menerima apabila disalahkan terhadap situasi hak privasi online yang kian amburadul," tegas Oxblood.
“Hacktivis dan hactivisme sesungguhnya selalu menjaga agar operasi tidak membuat gusar banyak pihak," imbuhnya. Meski Anonymous lebih terdisentralisasi ketimbang model pereteas oldschool, ujarnya, tidak ada alasan mereka tak memiliki disiplin
“Jika benar kita berada dalam perang, seperti yang kerap dikatakan, maka kita harus menerima aturan main. Ada alasan mengapa Konvensi Jenewa lahir. Hacktivis harus sangat berhati-hati dalam memilih taktik yang akan digunakan. Kita tidak butuh kemenangan yang memakan banyak korban.”