REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Saatnya pemerintah membentuk divisi perang siber karena serangan dunia maya sifatnya terselubung tapi berdampak besar.
Hal itu dikemukakan Ketua Asosiasi Peguruan Tinggi Informatika dan Komputer Prof Richardus Eko Indrajit di Jakarta, Rabu.
"Ini fakta, serangan siber dan media sosial berhasil menggoyang negara-negara Timur Tengah. Sekarang perang bukan pakai senjata api tapi serangan siber," katanya ketika ketika menjadi pembicara di diskusi panel "Microsoft Goverment Solution Day : Menyongsong Indonesia 2025".
Eko mencontohkan, satu orang berbicara kepada dua orang, dua orang berbicara ke lima orang dan seterusnya."Semua terjadi dalam satu waktu dan mudah sekali menyebar. Akhirnya, pemerintah tidak akan bisa mencegah, jika tidak ada filternya."
Menurut Eko ada beberapa modus peretas asing jika ingin mengacaukan negara lain.
Pertama, mereka membobol laman-laman pemerintah atau bank dan mencuri data-data penting.
Kedua, mereka membuat laman baru atau meretas laman yang sudah ada dan memasukkan data serta informasi yang salah. Hal itu akan menimbulkan fitnah dan para pembaca akan mudah terprovokasi.
Ketiga, peretas dapat melumpuhkan objek-objek vital negara seperti Bandara, kilang-kilang minyak, pelabuhan, stasiun dan sarana transportasi lainnya.
"Karena itu, tugas divisi kejahatan dunia maya yaitu menyaring laman-laman yang bermuatan fitnah dan berbahaya," katanya.
Lebih lanjut Eko mengemukakan pemerintah juga harus meningkatkan keamanan negara secara bertahap seperti pembangunan infrastruktur baru, pembelian peralatan dan paling terpenting peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) negara itu sendiri.
"Tidak ada negara lain yang bisa melindungi negara kita, selain kita sendiri," katanya.