REPUBLIKA.CO.ID,
Berkacamata kuda, begitu aktivis maya menyebut hukum yang diberlakukan terhadap kasus Aaron Swartz. Semua berangkat dari premis bahwa laptop yang digunakan Swartz menggunakan identitas palsu.
Ini yang mendasari penilaian bahwa dari awal dia memang sudah beritikad tidak baik. Di mata hukum semua titik sampai di sini.
Walau sebenarnya, bagi para pecandu Internet, apa yang dilakukannya adalah hal yang biasa dan tak istimewa. Bagi sebagaian orang, mengubah alamat MAC atau IP adalah hal sepele.
Banyak adapter yang menawarkan pilihan untuk itu, dan di layar Windows, Anda hanya perlu mengklik beberapa tombol untuk memuluskan tujuan. Masalahnya di sini adalah memodifikasi alamat MAC bukan masalah keamanan.
Jika Anda mengambil kursus jaringan, seperti sertifikat Cisco atau CompTIA, salah satu hal pertama yang Anda pelajari dalam modul keamanan adalah penyaringan alamat MAC merupakan proposisi yang sama sekali tidak berguna.
Hal yang sama berlaku untuk alamat IP. Apakah menggunakan server DHCP atau mengatur alamat Anda sendiri dengan cara yang statis, siapa pun dapat mengkonfigurasi adaptor untuk menggunakan alamat yang mereka inginkan, dan selama router menerimanya, maka tak akan ketahuan siapa yang menggunakannya.
Jadi intinya adalah: apa yang didakwakan jaksa pada Swartz sudah terlalu jauh. Fakta bahwa mengubah sesuatu seperti alamat MAC untuk menyembunyikan keberadaan sebuah laptop adalah kejahatan, harus dikaji ulang dengan hati-hati.
Dari informasi yang beredar luas, pada kondisi ini tidak pernah ada sistem dalam JSTOR yang meminta Swartz untuk mengidentifikasi dirinya, dan memblokir akses berdasarkan alamat MAC.
Bahkan MIT, untuk kasus pertama, juga demikian. Misalnya, jika Anda pergi di kampus itu, Anda dapat melihat dua hotspot wi-fi "0:21: d8: 49:98:61" dan "0:21: d8: 49:98:62" yang dipilah menjadi untuk "Warga MIT" dan "Tamu MIT". Namun, kedua alamat sebenarnya bermuara pada adaptor yang sama.
Inilah sebabnya mengapa kasusnya menjadi sangat penting, dan mengapa hal itu tidak seharusnya dibiarkan berlarut-larut.
Teknologi dapat menjadi rumit, terutama untuk orang non-teknis. Untuk orang awam, spoofing--istilah teknis internet untuk mengubah atau mengkamuflase identitas--alamat MAC mungkin tampak seperti kasus penipuan, sebelum Anda menyadari bahwa sebenarnya teknologi itu tidak pernah dirancang seperti itu.
Tak berlebihan jika serangan hukum terhadap Swartz sebenarnya adalah wujud dendam kesumat pada sejumlah orang yang seide dengannya, yang telah membocorkan informasi penting ke ranah publik. Singkat kata, pemerintah AS seolah ingin membuat terapi kejut bagi mereka, dengan cara mem--'bully' Swartz.
Siapa saja mereka? Sederet nama pasti Anda ingat. Yang paling terkenal barangkali adalah Bradley Manning, serdadu dalam Perang Irak yang dituduh membocorkan informasi militer rahasia pada situs WikiLeaks.
Dokumen kebijakan luar negeri AS yang bersifat terbatas, berjumlah lebih dari 92 juta item, diobralnya pada situs itu. Ia kini meringkuk di tahanan militer, menunggu kasusnya berkekuatan hukum tetap.
Lalu ada Jeremy Hammond, pemuda 28 tahun, yang pada tahun pertamanya di Universitas Illinois meretas home page Departemen Ilmu Komputer. Meski kemudian ia mengatakan kepada mereka bagaimana mereka bisa memperbaiki masalah tersebut.
Dia dikeluarkan dari universitas itu dan sekarang meringkuk di penjara federal menghadapi tiga puluh sembilan tahun penjara. "Dosa" terbesarnya justru bukan pada meretas situs di kampusnya, melainkan membocorkan 5 juta email internal Stratfor, sebuah perusahaan keamanan swasta yang disewa oleh perusahaan.
Khusus bagi Swartz, ia bak memborong semua dakwaan. Setidaknya ada 13 dakwaan yang ditudingkan padanya, mulai dari penipuan hingga kejahatan cyber.
Jika dijumlahkan, dia harus menghabiskan 35 tahun hidupnya di penjara, dan membayar denda 1 juta dolar AS. Hukuman yang terlalu mahal “hanya” untuk kesalahan peretasan dan tak ada pihak yang dirugikan.
Kematian Aaron Swartz dan Nasib Gerilya 'Open Access' (1)
Kematian Aaron Swartz dan Nasib Gerilya 'Open Access' (2)
Kematian Aaron Swartz dan Nasib Gerilya 'Open Access' (4-habis)