REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Survei BSA Global Software memperlihatkan, pengguna komputer menjadikan risiko ancaman keamanan dari malware sebagai alasan utama untuk tidak menggunakan software illegal, yang tidak berlisensi atau bajakan. Yang menjadi keprihatinan khusus mereka adalah pembobolan oleh hacker dan kehilangan data.
Namun, ternyata 84 persen dari seluruh software yang dipasang komputer pribadi di Indonesia selama 2013 justru tidak berlisensi secara benar. Artinya, ada kebutuhan untuk praktik pengelolaan software yang efektif, terutama dalam pengaturan bisnis.
"Kebanyakan orang tidak tahu apa yang dipasang ke dalam sistem komputer mereka. Itulah yang harus diubah," kata Presiden dan CEO BSA, Victoria Espinel dalam keterangan resmi yang diterima ROL, Rabu (25/6).
Survei BSA Global Software dilakukan setiap dua tahun oleh lembaga riset pasar International Data Corporation (IDC). Tahun ini, survei itu melibatkan pengguna komputer di 34 pasar. Termasuk hampir 22 ribu konsumen dan perusahaan pengguna komputer pribadi (PC). Serta lebih dari dua ribu manajer teknologi informasi.
Temuan lainnya, prosentase software PC yang dipasang tanpa lisensi yang benar di Indonesia mencapai 84 persen pada 2013. Atau menurun dua persen dibandingkan temuan 2011. Sementara kerugian bisnis bagi produsen software asli akibat penggunaan tidak berlisensi itu bernilai Rp 17,3 triliun (1,46 miliar dolar AS).
Dikatakan, alasan utama yang diungkapkan para pengguna komputer di seluruh dunia untuk tidak menggunakan perangkat lunak yang tidak berlisensi adalah menghindari ancaman keamanan dari malware.
Di antara risiko yang terkait dengan software tidak berlisensi, 64 persen pengguna komputer di dunia paling mencemaskan terbukanya akses masuk secara gelap bagi para hacker. Serta 59 persen lainnya mencemaskan risiko kehilangan data.
Para manajer TI di seluruh dunia mengungkapkan kecemasan yang dapat dimengerti. Yaitu bahwa software tidak berlisensi dapat menyebabkan kerusakan. Namun tidak sampai separuh dari mereka yang mengaku sangat yakin kalau software yang digunakan di perusahaan mereka memang asli dan berlisensi dengan benar.
Bahkan, hanya 35 persen perusahaan yang disurvei telah memiliki peraturan tertulis yang mewajibkan penggunaan software asli dan berlisensi dengan benar. "Penggunaan software tidak berlisensi adalah masalah pengelolaan organisasi, dan kajian BSA ini menunjukkan bahwa perbaikan sangat diperlukan," kata Espinel.
Ia menambahkan, ada beberapa langkah dasar yang bisa dilakukan setiap perusahaan untuk memastikan kepatuhan menggunakan software yang legal. Seperti menetapkan kebijakan resmi tentang penggunaan software berlisensi dan menjaga catatan penggunaannya.
Espinel menyarankan, agar perusahaan mempertimbangkan program pengelolaan aset software (software asset management/SAM) yang lebih kokoh. Yaitu, dengan mengikuti pedoman yang diakui secara internasional.
Menurutnya, program pengelolaan aset software ini dapat memberikan manfaat yang besar. Yaitu, dengan memastikan adanya kontrol yang memadai untuk mengawasi secara penuh terhadap apa yang dipasang ke dalam suatu jaringan sistem komputer.
"Fasilitas ini dapat membantu berbagai organisasi untuk menghindari risiko keamanan dan operasional. Sekaligus memastikan mereka memiliki jumlah lisensi yang sesuai dengan jumlah penggunanya," lanjut Espinel.