Jumat 18 Jul 2014 12:00 WIB

tradisi- Tradisi Megibung di Pulau Seribu Masjid

Red:

Sebuah tradisi yang tetap lestari di Pulau Lombok, yakni melaksanakan makan bersama setiap usai melakukan tadarusan sehabis Tarawih. Tradisi tersebut dikenal dengan istilah megibung.

Megibung yang sempat dirasakan oleh Republika dilaksanakan di Masjid Qubbatul Islam, Desa Taliwang, Kecamatan Cakra Negara, Kota Mataram, NTB. Beberapa masjid lain, termasuk mushala-mushala yang ada di sana, juga menggelar acara serupa.

Ketua Takmir Masjid Qubbatul Islam HM Hasbullah mengatakan, di Desa Taliwang kegiatan megibung dulunya dipusatkan di masjid tertua Desa Taliwang, yakni Masjid Nurul Iman. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di "Pulau Seribu Masjid" dan terus berdirinya sejumlah mushala, setiap masjid dan mushala pun menggelar megibung sendiri-sendiri.

Dahulu, Hasbullah mengatakan, warga ikut megibung bisa mencapai ratusan orang, "Tapi, sekarang hanya puluhan saja," ujarnya.

Megibung merupakan tradisi masyarakat Lombok yang biasanya dilakukan sehari sebelum memasuki bulan Ramadhan. Begitu pula saat menjelang berakhirnya bulan suci ini. Namun di beberapa desa dan masjid, kegiatan itu kemudian ditradisikan menjadi setiap malam selama bulan Ramadhan. Setiap selesai tadarusan, warga yang ada di masjid pun makan bersama sekaligus bersahur.

Saat megibung, warga akan akan duduk bersama dan makan dalam satu nampan, yang dalam bahasa Sasak disebut dulang. Satu nampan akan dihadapi bersama-sama oleh lima orang. Menurut H Zainuddin, pengamat sosial masyarakat Sasak, makna megibung sangatlah dalam. Megibung, menurutnya, terutama dilihat dari aspek silaturrahim dan keihlasan masyarakat untuk bersedekah dengan menyediakan makanan untuk megibung setiap malam.

Menurut Sekretaris Takmir Masjid Qubbatul Islam, Amaludin, kegiatan megibung pada bulan Ramadhan di Desa berpenduduk sekitar 800 jiwa itu sudah dilakukan secara turun-temurun. Yang berubah, Amaludin mengatakan, soal jam makannya saja.

Kalau sebelum-sebelumnya megibung dilakukan sekitar pukul 02.00 WITA atau pada dini hari, kini mulainya pukul 24.00 WITA. "Jadi, waktu tadarusannya yang diperpendek, hanya sampai pukul 12 malam," katanya.

Perbedaan lainnya, dahulu megibung melibatkan hampir seluruh warga desa di satu masjid. Namun, kini sudah terbagi-bagi di beberapa tempat dan umumnya diramaikan oleh kalangan remaja yang memang aktif bertadarus di masjid.

Dahulu isi nampan adalah hasil olahan masyarakat sendiri. Isinya nasi dengan beragam lauk pauk, seperti sayur-sayuran, ikan, ayam, daging, dan makanan khas Lombok lainnya. Namun, kini makanannya kebanyakan dipesan di warung. '"Mungkin masyarakat sibuk dengan aktivitas lainnya," ujar Amaludin.

Selain itu, soal berkurangnya waktu tadarusan, Amaludin mengatakan, bukan berarti bacaan Alqurannya dikurangi. Karena jumlah bacaannya sama saja, yakni satu malam sampai enam juz. Teknis membacanya, sekali membaca ada dua sampai tiga kelompok dan juz yang dibaca setiap kelompok yang berbeda. Ia mengatakan, tadarusan diakhiri lebih awal karena ingin menghormati warga yang beragama non-Muslim agar mereka tidak terganggu istirahatnya. rep:ahmad baraas ed: andi nur aminah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement