Selasa 19 Feb 2019 14:19 WIB

Pemerintah Siapkan Regulasi Fortifikasi Pangan

Fortifikasi pangan akan dilakukan oleh industri makanan dan minuman

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Nidia Zuraya
Sayuran dan buah produk hortikultura (ilustrasi)
Foto: distan.pemda-diy.go.id
Sayuran dan buah produk hortikultura (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fortifikasi pangan menjadi salah satu upaya dalam mengatasi masalah gizi buruk di Indonesia. Untuk itu, regulasi dalam bentuk Peraturan Menteri Perindustrian akan dikeluarkan guna mengatur hal tersebut.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro mengatakan, regulasi fortifikasi ini berada di Kementerian Perindustrian (Kemenperin) karena yang akan melakukan fortifikasi pangan adalah industri makanan dan minuman (mamin).

Baca Juga

"Tahun ini kita harapkan sudah jelas landasan hukumnya," katanya saat ditemui dalam workshop Fortifikasi Pangan di Jakarta, Selasa (19/2).

Tidak hanya industri, ia melanjutkan, pihaknya juga menyasar sektor pertanian, kelautan maupun perikanan. Sebab, selain mendorong fortifikasi pangan di industri, biofortifikasi juga perlu terus dikembangkan.

Fortifikasi pangan adalah pengayaan zat mikro ke dalam suatu produk. Misalnya, yang telah lama dilakukan adalah pengayaan iodium pada garam, vitamin A pada minyak goreng dan zat besi pada terigu.

Pangan pokok menjadi yang utama dilakukan fortifikasi pangan. Namun, yang paling penting dari fortifikasi pangan ini adalah konsistensi dan pengawasan.

"Yang kita inginkan adalah ada suatu kebijakan yang 'mengharuskan' industri makanan dan minuman melakukan fortifikasi dengan standar yang diharapkan," ujar Bambang.

Sedangkan biofortifikasi adalah menambahkan zat mikro dari sejak ternak ataupun tanaman tumbuh. Semua dilakukan untuk memperbanyak pangan pokok yang dikayakan dengan zat mikro.

Ia menambahkan, riset dan standardisasi sangat diperlukan dari kalangan akademisi, peneliti dan perguruan tinggi untuk pengembangan bahan fortifikan untuk mengurangi ketergantungan impor dan inovasi teknologi yang dapat diadaptasi oleh pelaku industri. Selama ini Indonesia masih mengimpor zat mikro untuk fortifikasi atau fortifikan.

Tapi, kata Bambang, riset itu tidak sebatas hanya mencari bahan yang paling cocok tapi juga efektivitas biaya. "Kita harus bisa menciptakan jembatan antara riset dasarnya, mencari bahannya dengan cost effectivenes di dalam implementasi," ujar dia.

Sementara itu Plt Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono saat dihubungi Republika mengatakan, penambahan iodium di garam yang sudah dilakukan sejak 2000 bisa diterima dengan baik. Hanya saja, pengayaan vitamin A pada minyak goreng masih diteliti efektivitasnya di level produsen hingga konsumen.

Terkait regulasi yang mengatur fortifikasi pangan, Kemenperin telah melakukan pembahasan lanjut. "Tidak hanya dengan Bappenas tapi dengan seluruh stakeholders termasuk Kemenkes dan perdagangan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement