Selasa 19 Oct 2021 08:34 WIB

Juara Piala Thomas dan PR Besar di Bulu Tangkis Putri

Terakhir kali kita juara Piala Uber pada 1996 di Hong Kong atau tepat 25 tahun lalu.

Red: Israr Itah
Para pemain dan official Indonesia melakukan selebrasi dengah memperlihatkan medali emas seraya mengangkat Piala Thomas setelah pemberian medali dan penyerahan piala kepada tim Indonesia yang berhasil meraih gelar juara, di Aarhus, Denmark, Minggu (17/10/2021). Indonesia berhasil merebut Piala Thomas setelah berhasll mengalahkan China di babak final 3-0.
Foto: ANTARA/Claus Fisker via Reuters
Para pemain dan official Indonesia melakukan selebrasi dengah memperlihatkan medali emas seraya mengangkat Piala Thomas setelah pemberian medali dan penyerahan piala kepada tim Indonesia yang berhasil meraih gelar juara, di Aarhus, Denmark, Minggu (17/10/2021). Indonesia berhasil merebut Piala Thomas setelah berhasll mengalahkan China di babak final 3-0.

Oleh: Israr Itah, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Selain kepada para pemain dan pelatih, ucapan selamat pantas kita layangkan kepada Pengurus Pusat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PP PBSI). Indonesia akhirnya membawa Piala Thomas pulang ke Jakarta. Penantian panjang hampir dua dekade itu berakhir juga. Upaya PBSI membentuk tim terbaik di tengah kebatasan pandemi Covid-19 akhirnya terbayar dengan gelar juara mengalahkan China 3-0 pada final di Aarhus, Denmark, Ahad (17/10).

Seluruh Indonesia bersuka cita. Ucapan selamat dan rasa bangga mengalir deras di media sosial. Meskipun tak kalah kencangnya kritik kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga karena dalam seremoni penyerahan piala kita tak bisa mengibarkan bendera Merah-Putih. Penyebabnya, Indonesia sudah mendapatkan sanksi dari Agensi Antidoping Dunia (WADA) karena kealpaan mengikuti aturan main yang ditetapkan badan dunia itu.

Namun saya tak mau membahas itu. Dalam kesempatan ini, saya justru ingin menyoroti pekerjaan rumah (PR) yang menanti PBSI selaku induk olahraga bulu tangkis Indonesia. Lebih spesifiknya ke pemain putri Indonesia.

Saat kita berhasil meraih gelar juara Piala Thomas untuk kali ke-14, tim Uber justru pulang dengan tangan hampa. Indonesia dihentikan Thailand 2-3 di perempat final. Terakhir kali kita juara Piala Uber pada 1996 di Hong Kong atau tepat 25 tahun lalu. Ketika itu kita mengalahkan China 4-1. Skuad Uber kita diisi oleh Susy Susanti, Mia Audina, Lidya Djaelawijaya, Finarsih, Deyana Lomban, Meiluawati, Eliza Nathanael, Zelin Resiana, Yuliani Sentosa, dan Lili Tampi.

Sampai sekarang, PBSI masih kesulitan memunculkan pebulu tangkis putri kelas dunia. Meskipun di nomor ganda relatif masih bisa bersaing, tapi Indonesia kerap tak berdaya di tunggal. Padahal pada kejuaraan beregu seperti Piala Uber, nomor tunggal menentukan karena tiga dari lima partai merupakan pertarungan tunggal. PBSI tak kunjung bisa menghasilkan pengganti sepadan untuk Susy dan Mia.

Baca juga : Dokter Zaini Saragih, 4 Tahun Pimpin LADI tanpa Sanksi WADA

Sempat muncul nama Maria Kristin yang digadang-gadang bisa menggantikan Susy. Maria sempat meraih perunggu Olimpiade 2008. Namun deraan cedera membuat ia gagal memenuhi ekspektasi.

Susy, dalam beberapa kesempatan, mengakui sulit menemukan bibit pemain yang benar-benar bagus di nomor tunggal putri. Masalah lainnya adalah soal kemauan. Namun Susy percaya PBSI bisa segera mengatasi masalah ini.

Masalah kemauan ini pernah saya rasakan sendiri ketika beberapa tahun lalu meliput bulu tangkis. Ceritanya, salah satu pebulu tangkis putri kita kerap kalah ketika melawan Saina Nehwal. Ia mengaku kalah fisik. Otot kakinya tak kuat untuk meladeni permainan spartan Saina, pebulu tangkis asal India tersebut.

Eh, dua tahun kemudian saya bertemu atlet yang sama. Ia kemudian menyatakan alasan serupa soal kekalahannya. Tak kuasa menahan, mulut saya menanyakan apa saja yang dilakukan si atlet selama dua tahun sampai tak bisa memperbaiki kelemahan yang sudah ia tahu sedari awal. Kontan atlet ini ngambek.

Momen saya membuat pebulu tangkis kita 'marah' ini pernah saya sampaikan kepada Ketua Bidang Pembinaan dan Prestasi PP PBSI Rionny Mainaky dalam sebuah zoom meeting beberapa bulan lalu. Ia mengakui tantangan memoles atlet wanita memang lebih berat. Terutama dari sisi menjaga motivasi untuk menang tetap besar dan menguatkan mental pemain putri kita agar bisa bersaing di level dunia. Perkara teknik, PBSI punya sederet pelatih jempolan. Namun ada aspek lain seperti motivasi, kekuatan fisik, dan mental yang mesti dimiliki agar seorang atlet sukses. 

Kala itu, Rionny mengaku sudah mengidentifikasi sejumlah masalah dan memaparkan rencana untuk memperbaikinya. Salah satunya dengan mengirim atlet-atlet muda lebih banyak bertanding di turnamen internasional.

Menurut Rionny, sebenarnya Indonesia tak kekurangan bibit pemain bulu tangkis yang berjaya di level junior. Hanya, transisi dari pemain junior ke senior jadi kurang mulus karena jam terbang mereka yang kurang. 

Di Piala Uber saya menyaksikan itu. Salah satu yang menyita perhatian saya adalah Putri Kusuma Wardani. Putri merupakan pemain penuh bakat. Posturnya cukup tinggi untuk pemain putri, yakni 172 cm. Jangkauannya bagus. Ia pintar membaca permainan dan menggunakan senjata yang pas untuk mematikan lawan. Hanya, Putri memang butuh jam terbang dan juga banyak berlatih. Saat melawan tunggal Thailand Busanan Ongbamrungphan, Putri kalah 9-21 dan 20-22. Ia banyak membuang poin akibat kesalahan sendiri seperti smes menyangkut di net atau pengembalian melebar. Kesalahan muncul antara lain akibat tak sabar ingin menuntaskan reli.

Baca juga : Merah Putih tak Dikibarkan, Taufik: Pemerintah Harusnya Malu

Namun melihat Putri, yang masih berusia 19 tahun, saya optimistis bahwa pebulu tangkis putri kita masih punya harapan dan akan bisa berbicara banyak. Syaratnya tentu penanganan yang tepat oleh PBSI. Selain Putri, kita punya Gregoria Mariska Tunjung dan Ester Nurumi Tri Wardoyo. Nama terakhir baru berusia 16 tahun. 

Yang pertama tentu PBSI harus bisa menjaga motivasi para atlet ini berlatih meningkatkan kemampuannya untuk jadi pebulu tangkis dunia. Bukan hanya di sisi teknik, melainkan juga fisik. Bukan rahasia kalau sejumlah pebulu tangkis Indonesia yang punya bakat besar kerap tak sepenuh hati menjalani program fisik. Sementara untuk jadi pemenang di level dunia, pebulu tangkis harus punya fisik prima.

Kedua mengembleng mental mereka, yang salah satunya dengan sering mengirimkan ke turnamen-turnamen internasional. Saya berharap besar sejumlah sponsor bisa membantu PBSI untuk mendukung program ini. Sebab, seperti yang dikatakan Rionny, butuh biaya tak sedikit untuk mengirimkan pemain-pemain muda ke turnamen internasional. PBSI bisa saja merancang program, tapi bisa saja tak tereksekusi sempurna jika tak ada sokongan dana. Apalagi jika para atlet yang dikirimkan kerap tumbang lebih awal, pemain dan PBSI akan jadi sasaran kritikan.

Soal kritikan ini, saya kira PBSI tak perlu menanggapi berlebihan. Sebab, selalu ada risiko dalam implementasi program. Apalagi jika sedari awal PBSI sudah terang-terangan menyatakan maksud dan tujuan program itu. Saya pribadi sangat mendukung para pemain muda diterjunkan di turnamen-turnamen bergengsi untuk menambah jam terbang mereka. Saya kira badminton lovers Indonesia juga serupa.

Seiring waktu, saya percaya permainan para pebulu tangkis muda kita akan semakin membaik. Mental mereka akan terasah menangani tekanan-tekanan pertandingan. Jika sudah sampai di level ini, PBSI tinggal menuai hasil dari konsistensi mereka menjalankan program untuk para pemain muda ini.

Seperti Susy, saya percaya PBSI bisa mengembalikan kekuatan bulu tangkis kita di sektor putri jika serius dan konsisten menjalankan program secara profesional. Untuk para sponsor, mari ikut bersama BNI mendukung PBSI agar bulu tangkis kita makin berprestasi. Bukan sekadar bagi-bagi bonus besar ketika juara Olimpiade.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement