Sabtu 15 Jan 2022 12:47 WIB

Pendekatan Kultural 'Duit dan Babi' Selesaikan Konflik Nduga dan Lanny Jaya

Masyarakat Papua asli memiliki budaya perdamaian dengan 'Satu Tungku Tiga Batu'.

Red: Agus Yulianto
Ketua Asosiasi Bupati Pegunungan Tengah Papua, Befa Yigibalom.
Foto: Istimewa
Ketua Asosiasi Bupati Pegunungan Tengah Papua, Befa Yigibalom.

REPUBLIKA.CO.ID, NDUGA --  Pasca-kesepakatan damai atas konflik dua kelompok warga yang melibatkan masyarakat Lanny Jaya dan Nduga di Papua, ada upaya dari berbagai pihak untuk segera mengembalikan para pengungsi Nduga ke daerah asal. 

Menyikapi hal tersebut, Ketua Asosiasi Bupati Pegunungan Tengah Papua Befa Yigibalom menyebutkan, bahwa dalam waktu dekat pihaknya bersama beberapa bupati dari pegunungan tengah Papua akan menghadap Panglima TNI dan Kapolri serta Pemerintah Pusat. Salah satu agennya, untuk upaya mengembalikan pengungsi ke Nduga dan menarik seluruh pasukan non-organik TNI/Polri dari wilayah tersebut.

"Pertikaian tersebut berakhir dan diredam dengan pemberian dana kompensasi sebesar Rp 2,5 miliar," kata Befa Yigibalom dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Sabtu (15/1/2022). 

Dana tersebut diberikan kepada keluarga korban oleh Pemerintah Kabupaten Jayawijaya, Lanny Jaya, dan Nduga. Selain dana kompensasi, Pemkab Jayawijaya, Pemkab Lanny Jaya serta Pemkab Nduga juga menyerahkan hewan ternak babi sebanyak 10 ekor kepada keluarga korban meninggal.

Di tempat terpisah, Pegiat budaya dari NGO Lentera Masa Depan Bangsa (LMDB) DR Ismuanto SSas M Fil, menyikapi fenomena tersebut melalui cultural analysis. Menurutnya, masyarakat Papua asli memiliki budaya perdamaian yang dikenal dengan framework 'Satu Tungku Tiga Batu'. 

Framework sosial budaya tersebut mengandung arti tiga posisi penting dalam keberagaman dan kekerabatan etnis dalam masyarakat Papua. Terkait konflik Nduga, peran pemerintah, tokoh adat dan tokoh agama terbukti berhasil menyelesaikan konflik horizontal yang terjadi.

“Framework sosial budaya 'Satu Tungku Tiga Batu' berhasil meredam konflik Nduga, peran pemerintah, tokoh adat, dan tokoh agama terbukti berhasil menyelesaikan konflik horizontal yang terjadi”, ujar DR Ismu.

Lebij lanjut, dirinya mencontohkan, bahwa setidaknya ada tiga konflik fenomenal di Indonesia yang  bersumber dari “culture clash”. Yaitu konflik Sampit, Dayak-Madura serta Konflik di Ambon antara umat Kristen-Islam. 

Dia melihat, pemerintah sudah belajar bahwa pendekatan kultural merupan langkah efektif dalam menyelesaikan konflik horizontal. Hal tersebut terimplementasi dalam penanganan konflik Nduga yang mengedepankan pendekatan soft approach  dalam bentuk kultural.

“Para stakeholder sudah belajar bahwa pendekatan kultural adalah langkah efektif guna konflik horizontal. Itu sudah terbukti dalam penanganan Nduga yang mengedepankan soft approach  dalam bentuk lultural,” tambahnya.

Melalui tokoh pemerintahan setempat (Pemkab), tokoh adat (Dewan adat Papua/DAP) serta tokoh agama (para Pendeta setempat), atau yang biasa dikenal dengan framework Satu Tungku Tiga Batu, konflik horizontal dapat diselesaikan dengan local wishdom, yaitu 'Duit dan Babi'.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement