Ahad 22 May 2022 08:27 WIB

Analis: Minat Pasar Terhadap IPO BUMN Menurun

Isu terbesar bagi saham emiten-emiten BUMN adalah penugasan mendadak dari pemerintah.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Fuji Pratiwi
Bursa efek (ilustrasi). Analis menilai penawaran umum perdana atau Initial Public Offering (IPO) BUMN berpotensi kurang diminati pasar.
Foto: Prayogi/Republika.
Bursa efek (ilustrasi). Analis menilai penawaran umum perdana atau Initial Public Offering (IPO) BUMN berpotensi kurang diminati pasar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah perusahaan terafiliasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dikabarkan akan masuk bursa saham pada tahun ini. Melihat trennya akhir-akhir ini, analis menilai penawaran umum perdana atau Initial Public Offering (IPO) perusahaan pelat merah berpotensi kurang diminati pasar.

"Terkait dengan IPO perusahaan BUMN maupun anak usahanya, tidak bisa dipungkiri dalam beberapa tahun terakhir tidak memberikan hasil yang menggembirakan," kata Kepala riset Praus Capital Alfred Nainggolan, belum lama ini.

Baca Juga

Alfred melihat, banyak IPO BUMN yang terpaksa memangkas jumlah dana himpunan dengan menurunkan jumlah lembar saham yang dilepas atau menurunkan harga saham. Hal ini dilakukan karena melihat minat yang tidak besar dari pasar. 

Turunnya minat pasar juga tercermin dari kinerja saham BUMN maupun anak usaha paskaIPO. Menurut Alfred, keberhasilan emiten BUMN dalam proses IPO masih sangat bergantung pada investor intitusi yang memiliki eksposure pemerintah seperti dana pensiun atau asuransi yang memiliki afiliasi pemerintah.

Alfred menilai, isu terbesar bagi saham emiten-emiten BUMN adalah adanya penugasan yang sewaktu-waktu bisa dilakukan oleh pemegang saham mayoritas yaitu Pemerintah dan Kementrian BUMN seperti penetapan tarif tol, harga gas, hingga pengerjaan proyek penugasan yang membebani cost fund.

Menurut Alfred, kondisi ini dinilai tidak menguntungkan bahkan cendrung membebani kinerja perusahaan. Status BUMN yang disandang oleh perusahaan pun menjadi sentimen pemberat. Hal inilah yang menyebabkan emiten BUMN dengan valuasi premium tidak dijumpai.

"Emiten BUMN yang profit di sektor Perbankan, Telekomunikasi, dan Pertambangan tidak mendapatkan valuasi yang optimal dibandingkan emiten swasta atau family bisnis," ujar Alfred.

Selain itu, lanjutnya, proses pergantian pengurus perusahaan baik direksi dan komisaris yang tinggi juga menjadi persepsi negatif bagi performa perusahaan. Alfred melihat persepsi pergantian susunan pengurus BUMN lebih kental dilatar belakangi faktor politis dibandingkan tujuan untuk mencari sosok yang tepat untuk jabatan tersebut.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement