Kenangan Kelam Piala Dunia

AP
Aparat kepolisian mengamankan seorang pemain Italia saat terjadi perkelahian antarpemain dalam laga menghadapi tuan rumah Cile di Piala Dunia 1962.
Red: Didi Purwadi

Oleh Reja Irfa Widodo

Di balik gegap gempita pesta sepak bola dunia, sejarah Piala Dunia juga mencatat memori-memori kelam. Dibalik kisah sukses tim-tim juara Piala Dunia, gelaran kompetisi sepak bola paling bergengsi sejagat itu juga menyimpan kenangan-kenangan memilukan.

Mulai dari riwayat kekerasan, teror terhadap pemain, hingga dugaan pengaturan skor yang melibatkan wasit juga pernah menjadi bagian dari sejarah Piala Dunia.



Riwayat kekerasan paling parah di Piala Dunia terjadi di Cile 1962. Laga kedua fase grup, yang mempertemukan Italia dan tuan rumah Cile, justru menjadi medan perkelahian pemain dari kedua tim. Pukulan dan tendangan melayang di sepanjang laga.

Bahkan, pihak kepolisian harus tiga kali menghentikan laga tersebut akibat keributan yang terjadi antara pemain. Akibat perkelahian itu, sejumlah pemain bahkan harus mendapatkan perawatan medis usai partai tersebut. Laga di Ibukota Cile, Santiago, itu pun dikenal dengan sebutan ''Perang di Santiago''.

Bahkan komentator BBC, Agus Coleman, menyebut laga di Santiago itu sebagai pertandingan paling bodoh, mengerikan, menjijikan, dan memalukan di sepanjang sejarah sepak bola. Wasit yang memimpin laga itu, Ken Ashton, menggambarkan laga tersebut dengan mengerikan.

''Saat itu, saya seperti tidak menjadi wasit di pertandingan sepak bola, tapi saya bertindak sebagai hakim di dalam pertempuran-pertempuran yang dipenuhi manuver-manuer militer,'' kata wasit asal Inggris tersebut.

Uniknya, Ashton hanya mengeluarkan dua kartu merah, semuanya untuk pemain Italia, di sepanjang laga tersebut.

Sebuah insiden memalukan juga terjadi di Piala Dunia 1982, tepatnya saat Jerman Barat berhadapan dengan Prancis di babak semifinal. Gelandang Prancis, Pattrick Battiston, sempat tergeletak koma di tengah-tengah laga usai berbenturan dengan kiper Jerman Barat, Harald Schumacher, pada babak kedua.

Bahkan, Battiston harus kehilangan dua giginya dan mesti mendapat pertolongan berupa sambungan oksigen. Dalam kejadian itu, terlihat jelas Schumacher melakukan pelanggaran terhadap Battiston, tapi wasit tidak memberikan hukuman yang tegas terhadap Schumacher.

Wasit asal Belanda, Charles Corver, juga tidak memberikan tendangan bebas buat Prancis. Di laga tersebut, Jerman Barat akhirnya mampu menyingkirkan Les Bleus 5-4 lewat adu penalti.

Namun, memori paling kelam Piala Dunia justru bersinggunggan dengan kinerja wasit di lapangan hijau. Dugaan pengaturan skor lewat suap terhadap wasit sempat muncul di gelaran Piala Dunia 2002.

Kepemimpinan wasit asal Ekuador, Byron Moreno, di laga Italia kontra Korea Selatan menjadi sorotan lantaran dianggap menguntungkan tuan rumah. Keputusan wasit berjuluk 'the Lawman' yang memberikan tendangan penalti saat laga baru berjalan empat menit menjadi awal kontroversi.

Tidak hanya itu, keberpihakan Moreno terhadap Korea Selatan makin kentara kala wasit yang sempat maju ke dunia politik di Ekuador itu tidak mensahkan gol gelandang Italia, Damino Tommasi, lantaran dianggap offside. Padahal, dalam tayangan ulang, gol Tommasi tersebut sah.

Puncaknya, saat laga babak 16 besar Piala Dunia 2002 itu berlanjut ke babak perpanjangan waktu, Moreno mengusir Francesco Totti lantaran dianggap melakukan diving.

Meski hingga saat ini, FIFA tidak pernah menemukan dugaan suap yang diterima Moreno, tapi rekam jejak Moreno kiat menguatkan dugaan pengaturan skor yang melibatkan wasit.

Moreno terbukti dalam pengaturan skor di liga lokal Ekuador dan disanksi tidak boleh memimpin pertandingan dalam 20 laga. Akhirnya, Moreno memutuskan pensiun pada 2003 silam.

Namun kontroversi Moreno belum berakhir. Pada 2010 silam, mantan wasit berusia 40 tahun itu sempat tertangkap tangan menyelundupkan heroin sebanyak 13,6 gram di Bandara John F Kennedy, Amerika Serikat.

Tidak hanya Italia, Spanyol juga dianggap menjadi korban pengaturan skor yang melibatkan korps wasit di Piala Dunia 2002. Lagi-lagi, wasit dianggap menguntungkan tuan rumah Korea Selatan.

Kali ini di babak perempat final kala Korea Selatan berhadapan dengan Spanyol. Wasit asal Mesir, Gamal Ghandour, ganti menjadi sorotan. Ghandour sempat menganulir dua gol Spanyol yaitu torehan Ruben Baraja dan gol Fernando Morientes.

Spanyol tersingkir di babak perempat final lewat adu penalti 3-5. Sehari usai laga tersebut, salah satu harian olah raga terkemuka asal Spanyol menurunkan judul berita utama yang menyindir kiprah wasit Ghandour, ''Italia Ternyata Benar''.

Judul ini sebagai bentuk kekecewaan dan ungkapan persetujuan atas protes Italia yang dirugikan oleh keputusan wasit pada fase sebelumnya.

Namun, momen paling kelam di sejarah Piala Dunia adalah kematian Andres Escobar pasca memperkuat Kolombia di Piala Dunia 1994.

Escobar, yang saat itu baru berusia 27 tahun, harus menerima berondongan peluru sebanyak 12 tembakan di kampung halamannya, Meddelin, Kolombia, 10 hari usai memperkuat Kolombia di putaran final Piala Dunia 1994.

Escobar dibunuh lantaran dianggap sebagai biang keladi tersingkirnya Kolombia di Amerika Serikat 1994. Escobar melakukan gol bunuh diri di laga kedua Kolombia di fase Grup A saat Kolombia berhadapan dengan Amerika Serikat.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler