Transportasi Murah Kereta Bawah Tanah

Reuters/Chico Ferreira
Penumpang mengantre untuk masuk kereta di Stasiun Subway Estacao da Se, Sao Paulo, Brasil.
Red: Didi Purwadi

Oleh: Endro Yuwanto dari Brasil

Saya tak bisa membayangkan berapa banyak reais (mata uang Brasil) yang harus keluar jika saya menumpang taksi sebagai sarana transportasi sehari-hari untuk keliling di dua kota besar di Brasil, Sao Paulo dan Rio de Janeiro.


Saya juga tak bisa membayangkan berapa waktu yang harus saya tempuh untuk menuju stadion penyelenggara Piala Dunia 2014 atau tempat-tempat lain yang menjadi tujuan liputan saya selama berada di Negeri Samba.

Jarak antara penginapan saya di Diadema, Sao Paulo, menuju ke Stadion Arena Corinthians sekitar 40 kilometer. Sementara, jarak penginapan saya di Meier, Rio de Janeiro, menuju ke Stadion Maracana sekitar 20 kilometer. Tentu butuh biaya besar jika saya mengandalkan taksi sebagai transportasi utama.

Seorang rekan jurnalis sebuah televisi swasta Indonesia pernah mengeluh setelah ke mana-mana ia menumpang taksi di Brasil. Sekali jalan ia harus mengeluarkan paling tidak 60 reais atau sekitar Rp 330 ribu. Belum lagi persoalan waktu tempuh karena kadang-kadang ia harus bersiap menghadapi kemacetan selama perjalanan.

Karena alasan itu, keberadaan kereta bawah tanah (subway) metropolitano sangat membantu saya selama tinggal di Brasil. Bisa dibilang dengan jarak tempuh plus tingkat kenyamanannya, subway adalah sarana transportasi termurah di Sao Paulo dan Rio de Janeiro dibanding bus kota sekalipun.

Tarif subway tiga reais atau setara Rp 16.500. Hampir setara dengan tarif bus kota berkisar antara tiga hingga lima reais. Namun subway memiliki kelebihan lain, para penumpang bisa memilih lebih dari satu jalur yang ditandai dengan perbedaan warna di tiap jalur, misalnya merah, biru, kuning, dan hijau. Setiap pindah jalur para penumpang tidak dikenai biaya tambahan, kecuali jika kaki sudah telanjur melangkah ke pintu keluar.

Stadion Arena Corinthians tak sulit dijangkau dengan subway karena berada persis di depan stasiun subway Corinthians-Itaquera. Adapun Stadion Maracana berada di samping stasiun subway Maracana.

Kondisi di dalam kereta subway sebenarnya tak jauh berbeda dengan KRL Commuter di Jabodetabek, Indonesia. Mungkin yang membedakannya kepastian kedatangan kereta. Subway di Brasil selalu datang setiap dua menit sekali atau kadang kurang dari dua menit. Selama beberapa pekan menumpang subway, nyaris jika tak ingin dibilang tak pernah, saya menunggu di peron lebih dari dua menit. Selalu tepat waktu.

Kondisi dalam kereta subway juga relatif nyaman. Di atas pintu masuk terdapat semacam peta jalur subway. Ada lampu indikator warna merah yang selalu menyala dan bergerak untuk menunjukkan posisi kereta.

Di sudut-sudut gerbong juga terpasang televisi yang menampilkan informasi dan hiburan bagi penumpang. Tempat duduk berjajar rapi dan ada pegangan bagi penumpang yang berdiri. Adapula stiker khusus yang meminta siapa saja mengutamakan penumpang orang lanjut usia, ibu hamil atau membawa bayi, dan orang penyandang cacat. Pengamen, pengemis, dan pedagang asongan pun dilarang masuk dalam kereta.

Papan-papan informasi di dalam stasiun busway juga bisa dibilang lengkap. Bagi penumpang warga asing yang masih kebingungan mencari lokasi, di dekat loket tiket juga terdapat konter informasinya yang menyediakan dua petugas informasi plus peta kota yang bisa diambil secara gratis.

Arena nonton bareng resmi di luar stadion alias FIFA Fanfest juga terkoneksi dengan jalur subway. Di Sao Paulo arena FIFA Fanfest berada di dekat stasiun Anhangabau. Sementara di Rio de Janeiro FIFA Fanfest di pantai Copacabana bisa ditempuh kereta subway yang berhenti di stasiun Cardeal Arcoverde. Tak heran sepanjang perhelatan sepak bola empat tahunan ini, saya selalu menjumpai kelompok-kelompok suporter dari berbagai negara yang menumpang subway.

Saya pun tak bisa membayangkan apa jadinya jika para pekerja metropolitano masih menggelar pemogokan di jalur subway dan sejumlah demonstran masih memblokade gerbang stasiun-stasiun subway, seperti sepekan sebelum pembukaan Piala Dunia 2014. Saya yakin jika itu sampai terjadi maka gelaran Piala Dunia di Brasil kali ini akan sangat amburadul. Moda transportasi ini memang menjadi penghubung utama bagi para suporter Piala Dunia untuk tiba di tempat pertandingan dan FIFA Fanfest.

Untunglah dua hari menjelang pembukaan Piala Dunia 2014 di Arena Corinthians, Pemerintah Brasil bisa mengatasi persoalan subway sehingga pelaksanaan Piala Dunia dari sisi transportasi sejauh ini bisa dibilang lancar. Saya pun berandai-andai, apakah Indonesia sudah mampu menjadi tuan rumah Piala Dunia misalnya untuk menggantikan Qatar pada 2022 yang saat ini masih menjadi polemik.

Maaf bukannya tak menghargai negeri sendiri, tapi saya tak yakin Indonesia bisa membereskan persoalan transportasi yang sangat ruwet dalam waktu dekat terutama di ibukota negara Jakarta yang menjadi lokasi stadion bertaraf internasional, Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan.

Tak hanya transportasi, infrastruktur lain sebagai penunjang tuan rumah menggelar Piala Dunia juga bisa dibilang masih kurang memadai. Tapi entahlah bila rezim baru nanti yang terpilih usai pemilu presiden 9 Juli nanti bisa menyulap dengan supercepat sarana dan prasarana bagi Indonesia untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia. Siapa tahu...

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler