Perjuangan Berat Melawan Corona di Italia
Tenaga medis terpaksa memilih merawat pasien corona yang miliki harapan sembuh.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Idealisa Masyrafina, Febryan A, Indira Rezkisari
Italia utara dikenal sebagai kawasan dengan salah satu sistem perawatan kesehatan universal yang paling efisien di dunia. Namun demi efisiensi dalam perawatan Covid-19, dokter-dokter di wilayah ini harus mengambil keputusan paling sulit.
Para dokter Italia mengatakan begitu banyak pasien Covid- 19 lansia muncul dengan masalah pernapasan. Tapi tenaga medis tidak dapat mengambil risiko pada pasien yang memiliki sedikit harapan untuk sembuh.
Pertarungan melawan kematian berhenti setiap hari pada pukul 13.00. Pada saat itu, para dokter di unit perawatan intensif Policlinico San Donato menelepon kerabat 25 pasien yang menderita sakit parah. Mereka semua dibius dan memiliki tabung di tenggorokan untuk bernapas.
Makan siang biasanya digunakan untuk jam kunjungan di rumah sakit Milan ini. Tapi sekarang, ketika negara itu berjuang melawan wabah corona yang telah menewaskan lebih dari 2.000 orang, tidak ada pengunjung yang diizinkan masuk. Saat ini bahkan tidak ada seorang pun di Italia yang meninggalkan rumah mereka.
Ketika para dokter menelpon kerabat, mereka berusaha untuk tidak memberikan harapan palsu. Mereka tahu bahwa satu dari dua pasien dalam perawatan intensif dengan penyakit yang disebabkan oleh virus corona kemungkinan besar akan mati.
Dengan epidemi Covid-19 meluas dan penyakit berkembang, tempat tidur rumah sakit semakin meningkat permintaannya. Terutama karena masalah pernapasan yang disebabkan oleh penyakit tersebut.
Setiap kali tempat tidur kosong, dua ahli anestesi berkonsultasi dengan spesialis resusitasi dan dokter penyakit dalam untuk memutuskan siapa yang akan menempatinya. Usia dan kondisi medis yang sudah ada sebelumnya adalah faktor penting. Begitu juga memiliki keluarga.
"Kami harus mempertimbangkan apakah pasien yang lebih tua memiliki keluarga yang dapat merawat mereka begitu mereka meninggalkan ICU, karena mereka akan membutuhkan bantuan," kata Marco Resta, wakil kepala Unit Perawatan Intensif Policlinico San Donato.
Bahkan jika tidak ada peluang untuk bertahan hidup, kata Resta, dokter harus melihat wajah seorang pasien dan berkata. "Semuanya baik-baik saja."
Menyampaikan kebohongan seperti itu tidak pernah mudah. Bagi beberapa dokter hal tersebut seperti menggerogoti mereja. ”Kebohongan ini menghancurkan Anda," kata Resta.
Krisis medis yang paling menghancurkan di Italia sejak Perang Dunia Kedua ini telah memaksa dokter, pasien, dan keluarga mereka untuk membuat keputusan yang oleh Resta, seorang mantan dokter militer, mengatakan ia belum pernah alami dalam masa perang.
Resta mengatakan 50 persen dari mereka dengan Covid-19 yang diterima di unit perawatan intensif di Italia sedang sekarat, dibandingkan dengan tingkat kematian yang biasa dari 12 persen hingga 16 persen di unit tersebut secara nasional.
Para dokter telah memperingatkan bahwa Italia utara adalah pendahulu dari krisis yang dibawa penyakit ini ke seluruh dunia. Wabah itu, yang melanda daerah utara Lombardy dan Veneto pertama, telah melumpuhkan jaringan rumah sakit setempat, menempatkan unit perawatan intensif mereka di bawah tekanan besar.
Menurut kepala unit perawatan intensif di rumah sakit Policlinico Milan, Giacomo Grasselli, lebih dari tiga minggu, 1.135 orang membutuhkan perawatan intensif di Lombardy, tetapi wilayah ini hanya memiliki 800 tempat perawatan intensif. Grasselli mengoordinasikan semua unit perawatan intensif yang dikelola pemerintah di Lombardy.
Dilema semacam itu bukanlah hal baru dalam profesi medis. Ketika merawat pasien dengan kesulitan bernapas, dokter perawatan intensif selalu mengevaluasi kesempatan mereka untuk pulih sebelum intubasi. Intubasi adalah suatu prosedur invasif yakni dengan memasukkan tabung ke dalam mulut dan turun ke tenggorokan dan jalan napas.
Tetapi angka yang tinggi ini berarti para dokter harus memilih lebih sering, lebih cepat, dan mana pasien yang layak mendapat kesempatan lebih besar untuk bertahan hidup. Ini merupakan pilihan yang sangat sulit di negara Katolik yang tidak membolehkan kematian dengan bantuan, dan populasinya juga memiliki lebih banyak warga usia tua di Eropa. Hampir satu dari empat orang berusia 65 tahun atau lebih di sana.
"Kami tidak terbiasa dengan keputusan drastis seperti itu," kata Resta, dikutip dari Reuters.
Berdasarkan data pada 17 Maret 2020, terdapat 27.980 kasus positif corona. Kematian yang disebabkan corona telah mencapai 2.158 kasus. Dan sudah ada 2.749 kasus positif yang telah sembuh.
Tingginya angka kematian akibat corona di Italia lalu menyebabkan masalah baru. Dikutip dari New York Times, jenazah korban corona belum tentu bisa dimakamkan karena berbagai alasan.
Wali Kota Bergamo sudah mengeluarkan maklumat menutup pemakaman publik mulai pekan ini untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia II. Banyak jenazah akhirnya dikirim ke gereja menunggu giliran dikremasi.
Pendeta gereja namun sudah kehabisan tempat untuk menempatkan jenazah. Satu jenazah butuh waktu lebih dari satu jam untuk dikremasi. Sedangkan antrean jenazah mencapai ratusan.
Pekan lalu Italia mengeluarkan aturan melarang pemakaman secara sipil atau religius untuk mencegah penyebaran virus. Pemerintah namun masih membolehkan pemuka agama berdoa di pemakaman yang hanya dihadiri sedikit orang dan semuanya mengenakan masker.
Banyak juga keluarga yang tidak mengurus pemakaman keluarganya yang meninggal karena dirawat akibat corona juga. Atau karena karantina hingga tidak boleh keluar.
Sekretaris Federasi Rumah Pemakaman Nasional Italia, Alessandro Bosi, mengatakan virus juga mempengaruhi industri pemakaman tanpa diduga. Tingginya kematian membuat petugas tidak dilengkapi dengan masker atau sarung tangan yang cukup. Padahal menurut Bosi, paru-paru mayat kadang masih mengeluarkan udara ketika dipindahkan.
Pasien terinfeksi virus corona di Italia dalam sepekan terakhir namun semakin banyak yang berusia lebih muda dibandingkan sebelumnya. Usia pasien kini semakin banyak di rentang 25 hingga 50 tahun.
"Jenis pasien berubah. Mereka sedikit lebih muda, berusia antara 40 hingga 45 tahun dan kasusnya lebih rumit," kata Luca Lorini, kepala anestesi dan perawatan intensif di sebuah rumah sakit di Bergamo, Italia bagian utara, kepada radio RaiNews24.
Lorini menjelaskan, pasien yang berusia lebih muda itu datang ke rumah sakit setelah melakukan perawatan secara personal di rumah masing-masing. Setelah 6 hingga 7 hari, mereka datang ke rumah sakit dengan kondisi yang semakin kritis.
Sebuah rumah sakit di kawasan Lombardy, menurut laporan media lokal, juga semakin banyak menerima pasien Covid-19 yang berusia lebih muda. Mereka berada di rentang 25 hingga 50 tahun.
Data resmi kasus Covid-19 yang dirilis pekan lalu menunjukkan hanya 12 persen pasien yang berusia 19-50 tahun. Sekitar 52 persen berusia 51-70 tahun. Sisanya berusia di atas 70 tahun.
"Bahkan jika data hanya pendahuluan, faktanya ada lebih banyak orang muda yang dirawat di rumah sakit dan dalam perawatan intensif dibandingkan dengan gelombang pertama dapat diartikan sebagai fenomena alam," kata Pierluigi Lopalco, seorang profesor dari Universitas Pisa, kepada surat kabar Italia Il Corriere della.