Memahami Hadits Ramadhan Awalnya Rahmat Tengahnya Ampunan
Hadits keutamaan Ramadhan harus didudukkan secara proporsional.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr Muchlis M Hanafi, Direktur Pusat Studi Alquran (PSQ) Jakarta
Terdapat hadits yang cukup panjang dan disandarkan kepada Rasulullah SAW terkait keutamaan Ramadhan. Disebutkan, pada suatu hari di akhir bulan Sya`ban, Nabi berkhutbah tentang bulan agung yang penuh berkah.
Di situ terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, puasa menjadi satu kewajiban, shalat malamnya sunnah, melakukan ibadah yang sunnah seperti melakukan ibadah yang wajib, mengerjakan satu ibadah yang wajib seperti mengerjakan tujuh puluh amal yang wajib di luar Ramadhan. Bulan itu awalnya adalah rahmat, bagian tengahnya ampunan, dan bagian akhirnya pembebasan dari api neraka. Redaksi hadits tersebut sebagai berikut:
حديث سلمان الفارسي -رضي الله عنه-: خطبنا رسول الله -صلى الله عليه وسلم- آخر يوم مِن شعبان، فقال: "أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيمٌ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ، شَهْرٌ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، جَعَلَ اللَّهُ صِيَامَهُ فَرِيضَةً، وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا، مَنْ تَقَرَّبَ فِيهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ، وَمَنْ أَدَّى فِيهِ فَرِيضَةً، كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِينَ فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ، وَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ، وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ، وَشَهْرُ الْمُوَاسَاةِ، وَشَهْرٌ يَزْدَادُ فِيهِ رِزْقُ الْمُؤْمِنِ، مَنْ فَطَّرَ فِيهِ صَائِمًا كَانَ مَغْفِرَةً لِذُنُوبِهِ، وَعِتْقَ رَقَبَتِهِ مِنَ النَّارِ، وَكَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ". قَالُوا: لَيْسَ كُلُّنَا نَجِدُ مَا يُفَطِّرُ الصَّائِمَ. فَقَالَ: "يُعْطِي اللَّهُ هَذَا الثَّوَابَ مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا عَلَى تَمْرَةٍ، أَوْ شَرْبَةِ مَاءٍ، أَوْ مَذْقَةِ لَبَنٍ، وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ، وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ، وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ، مَنْ خَفَّفَ عَنْ مَمْلُوكِهِ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ، وَأَعْتَقَهُ مِنَ النَّارِ، وَاسْتَكْثِرُوا فِيهِ مِنْ أَرْبَعِ خِصَالٍ: خَصْلَتَيْنِ تُرْضُونَ بِهِمَا رَبَّكُمْ، وَخَصْلَتَيْنِ لَا غِنًى بِكُمْ عَنْهُمَا، فَأَمَّا الْخَصْلَتَانِ اللَّتَانِ تُرْضُونَ بِهِمَا رَبَّكُمْ: فَشَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَتَسْتَغْفِرُونَهُ، وَأَمَّا اللَّتَانِ لَا غِنًى بِكُمْ عَنْهُمَا: فَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الْجَنَّةَ، وَتَعُوذُونَ بِهِ مِنَ النَّارِ".
Hadits ini diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya (3/191, No 1.887), Al-Baihaqi dalam kitab Syu`ab al-Iman (3/305, No 3.608), dan al-Haris dalam kitab Bughyat al-Harits (1/412, No 321).
Dalam sanad hadits tersebut terdapat perawi yang bernama Ali bin Zaid bin Jid`an dan Yusuf bin Ziyad. Menurut pakar hadits, Imam Ibnu Hajar, Ali bin Zaid adalah seorang perawi yang lemah (dhaif), dan Yusuf bin Ziyad sangat lemah (dhaif jiddan). (Taqrib al-Tahdzib, 1/694).
Selain Yusuf bin Ziyad, ada perawi lain yang meriwayatkannya dari Ali bin Zaid bin Jid`an, seperti dalam Syu`ab al-man (3/305), yaitu Iyas bin Abdul Ghaffar, tetapi dia juga lemah (Al-Jami al-Kabir, 1/286). Ibnu Khuzaimah, meski mencantumkan dalam kitab Shahih-nya, tetapi dia sendiri ragu akan kesahihannya.
Oleh karenanya, dia meletakkan hadits ini pada sebuah bab yang diberi judul Bab Fadhail Syahri Ramadhan in Shahha al-Khabar (Bab Keutamaan Bulan Ramadhan kalau Haditsnya Shahih).
Hadits ini dinilai dhaif karena Ali bin Zaid bin Jid`an. Sebagian ulama berpendapat hadits dhaif dapat diamalkan. Menurut Imam an-Nawawi, boleh meriwayatkan dan beramal dengan hadits dhaif selama tidak berkaitan dengan sifat Allah, hukum fikih (seperti halal dan haram), dan akidah (Tadrib al-Rawi, 298).
Sementara, al-Hafiz Ibnu Hajar memberikan beberapa ketentuan persyaratan dibolehkannya beramal dengan hadits dhaif, yaitu, 1) hadits yang dipergunakan tersebut tidak terlalu dhaif, 2) penggunaan hadits tersebut khusus untuk perkara yang berkaitan fadha'ilul a’mal atau targhib dan tarhib, bukan berkaitan dengan akidah dan penetapan hukum, 3) hadits itu tidak boleh diyakini sebagai sabda Nabi, 4) hadits itu harus mempunyai dasar yang umum dari hadits yang otoritatif, dan 5) wajib menjelaskan status hadits tersebut sebagai dhaif ketika menulis atau menyampaikannya.
Kalaupun hadits itu benar, seperti kata Ibnu Khuzaimah, dan ingin diamalkan atau dipedomani, tidak sepatutnya memahaminya secara literal dengan pengertian rahmat Allah hanya ada pada 10 hari pertama dan ampunan-Nya pada 10 hari kedua. Rahmat dan ampunan dari Allah tidak dibatasi oleh waktu-waktu tertentu. Allah berfirman, “Rahmat-Ku mencakup segala sesuatu.” (QS al-A`raf [7]: 156).
Rahmat-Nya melampaui batas-batas ruang dan waktu, bahkan mencakup alam semesta. Dalam sebuah hadits, Nabi bersabda, “Di setiap malam, ketika tersisa sepertiga malam yang terakhir, Tuhan turun ke langit yang terdekat, lalu berkata, ‘Barang siapa berdoa kepada-Ku akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku berikan, dan siapa yang memohon ampunan akan Aku ampuni dia.’”(HR Bukhari-Muslim).
Oleh karenanya, bulan Ramadhan sepatutnya dimanfaatkan untuk meraih rahmat dan ampunan Allah sebanyak-banyaknya di setiap waktu. Insya Allah, pada akhirnya rahmat dan ampunan itu akan membebaskan dari api neraka. Wallahua`lam bish shawab.