Saat Penolakan RUU HIP 'Dibungkam'

Jika usulan TAP MPRS XXV/1966 diterima, isu komunisme dinilai tak akan muncul.

M RISYAL HIDAYAT/ANTARA FOTO
para pimpinan DPR/MPR/DPD saat memimpin Pembukaan Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/6/).
Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Febrianto Adi Saputro, Ali Mansur


Penolakan berbagai pihak terhadap rancangan undang-undang haluan ideologi Pancasila (RUU HIP) membuat sejumlah parpol di DPR ikut menyatakan keberatan. Sebagian pihak parpol juga menuntut revisi bahkan penghapusan pasal-pasal dalam RUU tersebut.

Berkebalikan dengan keriuhan terkait RUU HIP belakangan, rapat paripurna penentuan dilanjutkan atau tidaknya pembahasan RUU tersebut serta penyertaannya dalam program legislasi nasional terkesan mulus. Dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-15 Masa Persidangan III Tahun Sidang 2019-2020 pada 12 Mei lalu, pembacaan pendapat fraksi-fraksi terhadap RUU HIP adalah agenda nomor buncit. Rapat sudah memasuki tiga jam saat Ketua DPR Puan Maharani membuka agenda tersebut.

Ia menyampaikan, sedianya ada sembilan nama yang akan menyampaikan pandangan masing-masing. Namun, ia lekas menyampaikan bahwa penyampaian pandangan tersebut dilakukan secara tertulis.

"Apakah kemudian bisa disepakati bahwa sembilan nama yang saya sebutkan ini akan menyampaikan pandangan mini fraksinya secara tertulis kepada pimpinan DPR?" ujar Puan sembari menengok sebentar ke majelis dan kemudian mengetokkan palu.

"Setuju…," ujarnya dalam rekaman sidang tersebut. Tampak seorang anggota dewan mengangkat tangan meminta izin berbicara, tetapi diabaikan.

Para wakil fraksi kemudian menyampaikan dokumen berisi pandangan tertulis masing-masing terkait RUU HIP. Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi PKS, Bukhori, yang paling akhir mengantarkan dokumen ke meja pimpinan. Tak seperti perwakilan fraksi lain, ia mengangkat dokumennya dan menunjukkan agar bisa terlihat kamera. Ia sempat menyampaikan sesuatu kepada pimpinan sidang, tetapi suaranya tak terdengar dalam rekaman sidang.

"Benar tidak terdengar karena memang tanpa mic. Yang saya sampaikan bahwa PKS berbeda dengan fraksi lain, yaitu PKS menolak terhadap RUU HIP mengingat banyak hal yang perlu disempurnakan dan antara lain tidak masuknya TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966," kata dia saat dihubungi Republika, Senin (15/6).

 
Sangat terkesan terburu-buru karena dari sejak awal pembahasan, saya sudah sarankan supaya RDP dengan komponen-komponen masyarakat dan ormas tidak terburu-buru.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi PKS, Bukhori 
 

Ia kemudian mengeklaim pendapatnya tidak digubris oleh pimpinan DPR pada saat pengesahan itu dilakukan. Ketika itu, menurut dia, sejumlah fraksi ingin agar pandangan mini fraksi disampaikan secara terbuka. "Supaya publik tahu bahwa PKS memang menolak RUU HIP," katanya menegaskan. Namun, ia mengeklaim, Ketua DPR Puan Maharani langsung meminta persetujuan agar pandangan mini fraksi disampaikan secara tertulis.

Bukhori juga menilai pengesahan RUU HIP menjadi RUU usulan inisiatif DPR terkesan terburu-buru. Sejak awal ia mengeklaim meminta agar pembahasan RUU HIP melibatkan komponen masyarakat dan organisasi masyarakat.

"Sangat terkesan terburu-buru karena dari sejak awal pembahasan saya sudah sarankan supaya RDP (rapat dengar pendapat) dengan komponen-komponen masyarakat dan ormas tidak terburu-buru, tapi terkesan terburu-buru," kata Bukhori. RUU HIP diketahui dimulai rapat umum dengar pendapatnya pada Februari 2020 dan telah diloloskan pembahasannya oleh rapat paripurna dengan draf lengkap pada 12 Mei 2020.

Sementara itu, Sekjen PPP Arsul Sani mengungkapkan, akar persoalan dari RUU HIP adalah kengototan pihak tertentu di DPR. "PPP melihat bahwa adanya prasangka bahwa RUU HIP ini ditunggangi elemen-elemen berpaham komunis atau kiri adalah berawal dari sikap pengusul yang keberatan dengan dimasukkannya TAP MPRS XXV/1966 (tentang pembubaran PKI) ke dalam konsiderans RUU tersebut," ujar Arsul saat dihubungi Republika, Sabtu (13/6).


Asrul menegaskan, jika saja tidak ada keberatan, isu ditunggangi komunisme ini tak akan berkembang. Menurut anggota Komisi III DPR itu, RUU HIP ini diusulkan oleh beberapa anggota Fraksi PDI Perjuangan dan tentu itu merupakan hak konstitusional masing-masing anggota DPR untuk mengusulkan sebuah RUU yang harus dihormati.

"Kemudian, jika ada kesan terburu-terburu juga bisa dimaklumi karena memang sebelum diajukan kepada Baleg DPR. Para pengusulnya tidak membuka ruang publik untuk mendapatkan respons masyarakat," ungkap Arsul.

Arsul menegaskan, bagi fraksi-fraksi lain termasuk PPP, pembahasannya tetap harus mendengarkan masukan dan aspirasi dari masyarakat luas. Bahkan, dia menambahkan, hal ini yang menjadi catatan dan syarat PPP beserta beberapa fraksi lainnya ketika menyetujui RUU ini untuk menjadi inisiatif DPR. "PPP melihat poin penting dalam ruang pembahasan adalah terbukanya aspirasi masyarakat untuk diakomodasi," ujarnya.

Dalam catatan rapat pengambilan keputusan penyusunan RUU HIP di Baleg DPR pada 22 April yang dilansir sekretariat DPR, ada dua fraksi yang dicatat menyerukan perlunya TAP MPRS XXV/MPRS/1966 sebagai konsiderans. Keduanya adalah Fraksi PKS dan Fraksi PAN.

Fraksi PKS juga meminta RUU disempurnakan lebih dahulu sebelum diajukan ke sidang paripurna dengan menguatkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa serta dimasukkannya TAP MPRS XXV/MPRS/1966 sebagai konsiderans. TAP MPRS itu mengatur pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) serta pelarangan penyebaran ideologi komunisme/Marxisme/Leninisme di Indonesia. PKS juga meminta pasal soal “Ekasila” dalam RUU tersebut dihapuskan. Namun, sikap PKS tersebut dicatat dalam catatan rapat bukan sebagai penolakan, melainkan “menerima hasil kerja panja dan menyetujui RUU tersebut setelah dilakukan penyempurnaan kembali dengan menambahkan poin-poin yang tercantum dalam pendapat fraksi”.

Sedangkan Fraksi Partai Demokrat dalam risalah rapat itu menyatakan menarik diri dari pembahasan. Alasannya, mereka merasa tak pantas RUU tersebut dibahas saat rakyat tengah menghadapi pandemi.

Pada akhirnya, seperti yang disampaikan Arsul Sani, TAP MPRS XXV/MPRS/1966 tetap belum disertakan dalam draf selepas rapat RUU HIP di Baleg DPR pada 22 April. Pasal 7 berisi Trisila dan Ekasila juga masih pada tempatnya. Penolakan-penolakan kemudian mengemuka.

Setelah dihujani kritik dari berbagai pihak, bisakah RUU HIP yang telah menjadi usulan DPR tersebut dibatalkan?

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi menjelaskan bahwa mekanisme pencabutan suatu RUU tetap harus melalui rapat di Baleg DPR dengan pemerintah dan DPD dengan agenda revisi program legislasi nasional (prolegnas).

Nantinya disetujui atau tidaknya RUU dicabut bergantung pada sikap fraksi. "Tergantung sikap fraksi-fraksi di rapat tahunan evaluasi prolegnas," ujarnya.

Politikus PPP tersebut mengungkapkan bahwa saat ini RUU tersebut ada di pemerintah. Pemerintah punya waktu 60 hari sejak menerima surat untuk menyampaikan persetujuan atau menolak pembahasan.

Nantinya sikap pemerintah tersebut kemudian menjadi acuan DPR untuk kemudian merevisi prolegnas. "Ya artinya statusnya RUU tersebut tidak lanjut dan menjadi acuan dalam rapat revisi prolegnas," ujarnya.

Sejauh ini, pihak-pihak dari Fraksi PDIP tak banyak bersuara soal polemik RUU HIP ini. Ketua Panja RUU HIP di Baleg DPR, Rieke Diah Pitaloka, juga belum mengeluarkan pernyataan. Meski begitu, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menyatakan partainya siap menyertakan TAP MPRS XXV/MPRS/1966 dan mencabut pasal Trisila dan Ekasila. n

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler