Ramli, Mualaf yang Ingin Banyak Etnis China Masuk Islam
Ramli menjadi mualaf pada 1964 di Aceh saat usianya 19 tahun.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Arsitektur Masjid Ramlie Musofa di utara Jakarta menyerupai Taj Mahal di India. Jika Taj Mahal adalah simbol cinta seorang raja kepada istrinya, Masjid Ramlie Musofa adalah lambang cinta seorang mualaf beretnis Tionghoa kepada Islam.
Masjid Ramlie Musofa berlokasi di seberang Danau Sunter atau tepatnya di Jalan Danau Sunter Selatan 1 blok 1/10 Nomor 12C - 14A, Jakarta Utara. Dibangun selama 5 tahun di atas lahan seluar 2.000 meter persegi, masjid tiga lantai itu diresmikan pada 2016 silam.
Arsitekturnya mirip dengan Monumen Taj Mahal. Sama-sama memiliki tiga kubah. Komposisi letak dan perbandingan ukuran antar kubahnya juga serupa. Sejumlah menara kecil yang mengitari tiga kubah tersebut juga mirip. Ditambah lagi semua bangunannya juga berwarna putih, membuat mata serasa melihat Taj Mahal mini di Jakarta.
Masjid itu didirikan oleh Haji Ramli Rasidin, seorang mualaf beretnis China. Ia mengucapkan syahadat di Aceh pada tahun 1964, ketika berusia 19 tahun.
Sofian Rasidin, anak kedua Ramli dan juga Ketua Dewan Kemakmuran Masjid Ramlie Musofa, mengatakan, masjid itu didirikan oleh bapaknya menyerupai Taj Mahal karena terinspirasi akan makna filosofisnya. Taj Mahal didirikan Raja Shah Jehan dari Kerajaan Mughal sebagai lambang cinta pada sang istri, Mumtaz Mahal.
"Jadi bapak itu, Pak Haji Ramli, berharap masjid ini sebagai lambang cinta beliau kepada, pertama Allah SWT, kedua kepada Islam, ketiga kepada keluarga," kata Sofian kepada Republika, beberapa waktu lalu.
Adapun lambang cinta sang pendiri kepada keluarganya tersembunyi di balik nama Masjid Ramlie Musofa. 'Ramlie' merupakan gabungan awal nama Ramli Rasidin dan sang istri Lie Njok Kim. Sedangkan 'Musofa' diambil dari suku kata awal pada nama anaknya, yakni Muhammad, Sofian, dan Fabian.
Sofian mengatakan, meski arsitektur masjid itu murni meniru Taj Mahal, tapi terdapat pula sejumlah bagian yang terinspirasi dari peradaban Arab dan China. Arab terwujud dalam bentuk gantungan lampu, pilar, dan tempat berwudhu, yang meniru desain Masjid Nabawi di Madinah.
Sedangkan unsur China diwujudkan dalam penulisan nama masjid. Selain terdapat nama berbahasa Indonesia dan Arab, terdapat pula nama dalam bahasa Mandarin di tembok masjid.
Unsur China juga dihadirkan pada grafier di kedua sisi dinding di tangga masuk. Tembok berkelir hitam itu bertuliskan Surat Al-Fatihah dengan warna emas dalam bahasa Arab, Indonesia, dan Mandarin.
Menyebarkan Islam
Sofian mengatakan, penulisan surat Al-Fatihah dalam bahasa Mandarin itu ditujukan sebagai cara menyiarkan Islam kepada masyarakat beretnis Tionghoa. "Bapak itu ingin lebih banyak orang China yang memeluk Islam," ucapnya.
Menurut Sofian, penggunaan bahasa Mandarin itu akan mempermudah masyarakat beretnis Tionghoa memahami Islam. Termasuk juga wisatawan asing dari negeri Tiongkok. "Bila ada turis asing, terutama dari China, dia bakal langsung paham bahwa Islam itu mengajarkan kebaikan dan kebenaran. Mereka kan lihat tulisan Mandarin, itu mother tongue mereka" ujarnya.
Adapun penggunaan bahasa Indonesia, lanjut Sofian, gunanya juga untuk menyiarkan Islam dan memberikan pemahaman lebih kepada masyarakat Indonesia. “Saya sendiri orang Indonesia, kita kalau tidak ada latar belakang bahasa Arab atau pondok pesantren, tidak mempelajari, maka kita tidak akan memahami apa yang tertulis di tembok atau di surat itu," katanya.
Selain itu, kata Sofian, pihaknya juga berupaya memberikan penjelasan tentang Islam kepada mereka yang datang untuk mempelajari Islam. Semua upaya itu berbuah. "Alhamdullilah sudah ada yang mualaf, baik itu Indonesia keturunan China ataupun paspor luar," ungkapnya.
Jika Taj Mahal berhasil menjadi situs warisan dunia UNESCO, Masjid Ramlie Musofa berhasil jadi tempat penyebaran Islam terbaru di Jakarta. Begitulah cinta Ramli Rasidin kepada Allah dan Islam menyebar.