Petani Kopi di Lampung Siasati Dampak Covid-19
Penjualan kopi Lampung menurun drastis sejak merebaknya pandemi Covid-19.
REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG – Petani kopi Robusta di sentra perkebunan kopi di Provinsi Lampung menyiasati dampak pandemi Covid-19 dengan cara tumpang sari. Penghasilan yang menurun selama pandemi, membuat petani mengambil cara lain berkebun agar tetap bertahan di masa krisis tersebut.
Sri Wahyuni, pengelola kopi di Ulubelu, Kabupaten Tanggamus mengatakan, penjualan menurun drastis sejak merebaknya pandemi Covid-19. Biasanya, dia bisa menjual sekitar satu kuintal kopi bubuk. Selama pandemi Covid-19 merosok 50 persen, atau hanya bisa menjual kopinya sekira 50 kg.
“Untuk tetap bertahan di tengah kondisi tersebut, petani kopi di Ulubelu menerapkan metode tumpang sari sembari menunggu panen kopi. Biasanya, kami menanam cabai dan pisang di sela-sela tanaman kopi sebagai penghasilan mingguan bagi petani,” kata Sri, pada Webinar bertajuk “Peluang, Ancaman, Tantangan, dan Kekuatan Kopi Robusta Lampung Menghadapi New Normal" digelar Rumah Kolaborasi (RuKo) bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung, Sabtu (11/7).
Menurut Ketua Koperasi Produsen Srikandi Maju Bersama itu, harga dan penjualan kopi masih menjadi masalah utama bagi petani kopi lokal di Ulubelu, terlebih pada masa pandemi. Biasanya, ada pembeli dari luar daerah yang mengambil hasil panen kopi. Namun, di tengah pandemi seperti ini, orang dari luar daerah tidak ada yang datang sehingga penjualan menurun.
“Sekarang, harga kopi robusta asalan sekitar Rp 18.500 per kg. Padahal, kopi yang kami produksi menjaga kualitas dengan cara memilih buah kopi merah (pilih merah). Alangkah bahagianya petani kalau harga juga dapat sesuai dengan kualitas,” ujarnya.
Sri berharap, pihak terkait, termasuk pemerintah, dapat membantu dalam pemasaran dan pengendalian harga kopi di Lampung. Dengan demikian, penjualan meningkat dan petani bisa merasakan manfaat dari geliat industri kopi.
“Hingga kini, belum ada bantuan pemerintah kepada petani kopi. Sejauh ini, bantuan pemerintah hanya untuk nasabah Kredit Usaha Rakyat (KUR). Padahal, tidak semua petani menjadi nasabah KUR,” kata Sri.
Paramita Mentari Kesuma, Direktur Eksekutif Sustainable Coffee Platform of Indonesia (Scopi), tak memungkiri pernyataan Sri ihwal penurunan penjualan kopi. Menurutnya, penurunan daya beli karena proses ekspor dan impor mengalami kendala. Hal tersebut karena pemberlakuan lockdown akibat pandemi Covid-19.
"Toko coffee shop, restoran tutup karena kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sehingga daya beli terhadap kopi menurun,” kata Paramita yang juga nara sumber webinar.
Koordinator Ruko, Warsito mendorong petani kopi mengembangkan metode agroforestry. Menurutnya, metode tersebut dapat meningkatkan produksi kopi dengan tetap menjaga lingkungan. Sebab, agroforestry menggabungkan pengelolaan sumber daya hutan dan pepohonan dengan komoditas kopi.
“Ke depan, kami mendorong pihak terkait seperti pemerintah daerah untuk dapat mengembangkan model tanam kopi dengan agroforestry. Sehingga, dapat menjaga hutan dan tetap menjaga kualitas produksi kopi,” ujarnya.
RuKo juga mendorong pemanfaatan panas bumi dalam pengeringan kopi. Menurut mantan Kepala Dinas Kehutanan Lampung tersebut, pemanfaatan energi panas bumi lebih efektif dan relatif singkat, yakni hanya membutuhkan 48 jam.Tak hanya itu, kualitas kopi juga lebih terjamin.
“Kami berharap, metode-metode tersebut dapat lebih menambah produktivitas dan meningkatkan nilai jual kopi Lampung. Sehingga, petani tidak perlu khawatir lagi jika harga kopi di pasaran mengalami penurunan,” katanya.