Pedoman Pemeriksaan Jaksa Harus Seizin Jaksa Agung Dicabut
ICW sempat duga rencana penerbitan pedoman terkait jaksa Pinangki soal Djoko Tjandra.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejakgung) mencabut pedoman Nomor 7 Tahun 2020 yang mengatur soal pemeriksaan jaksa harus seizin Jaksa Agung. Selain pemeriksaan, aturan tersebut mengatur terkait pemberian izin jaksa agung atas pemanggilan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa yang diduga melakukan tindak pidana.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Hari Setiyono mengatakan Jaksa Agung ST Burhanuddin mencabut pedoman tersebut lantaran menimbulkan disharmoni antarbidang tugas. "Apabila diberlakukan saat ini dipandang belum tepat," kata dia dalam keterangannya di Jakarta, Selasa,
Pedoman tersebut sebelumnya untuk memperjelas ketentuan pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang berbunyi "Dalam hal melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jaksa diduga melakukan tindak pidana maka pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap jaksa yang bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung". Pasal tersebut dinilai sering menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda sehingga diperlukan pedoman pelaksanaan.
Ia mengatakan kajian yang cukup lama pun telah dilakukan, tetapi hingga saat ini masih diperlukan harmonisasi dan sinkronisasi lebih lanjut dengan Kementerian Hukum dan HAM serta instansi terkait. Karena itu, Hari Setiyono menegaskan, Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 belum secara resmi dikeluarkan atau diedarkan oleh Biro Hukum Kejaksaan Agung. Terkait beredarnya pedoman tersebut melalui media sosial WhatsAp, ia menyebutkan, dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
"Oleh karena itu akan dilakukan penelusuran terhadap siapa yang menyebarkannya, "tegas Hari.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga rencana penerbitan pedoman tersebut terkait erat dengan dugaan tindak pidana Pinangki terkait skandal pelarian terpidana perkara pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra. "Pedoman tersebut diduga agar perkara tindak pidana yang baru saja disidik oleh Kejaksaan terkait dengan oknum jaksa tersebut tidak bisa diambil alih begitu saja oleh penegak hukum lain," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana.
Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango, juga menilai aturan tersebut memang dapat menimbulkan kecurigaan dan sinisme publik. Terlebih, aturan tersebut dibuat di tengah bergulirnya kasus Djoko Tjandra.
"Mengeluarkan produk seperti itu di saat-saat 'Pandemi kasus Djoko Tjandra' dan pemeriksaan Jaksa Pinangki, sudah pasti akan menimbulkan sinisme dan kecurigaan publik," kata Nawawi,
Menurut dia, sinisme publik yang muncul akibat munculnya aturan ini menjadi wajar. Apalagi, Nawawi menuturkan, aturan tersebut terlihat seperti menggerus upaya pemberantasan korupsi.