Penghapusan Premium dan Kebutuhan BBM Murah
Penghapusan Premium dan Pertalite dianggap tidak pas saat sulit akibat pandemi.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ali Mansur, Intan Pratiwi, Adinda Pryanka, Antara
Wacana penghapusan BBM berkalori rendah, yaitu Premium dan Pertalite, terus diutarakan Pertamina. Alasan tidak baik bagi lingkungan menjadi penyebab rencana penghapusan Premium dan Pertalite.
Rencana tersebut mendapat tanggapan dari anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto. Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut menolak wacana Direktur Pertamina, Nicke Widyawati, menghapuskan BBM jenis Premium dan Pertalite.
Menurutnya data yang digunakan sebagai alasan penghapusan BBM murah tersebut tidak valid dan mengada-ada. Penghapusan BBM jenis Premium dan Pertalite secara serta-merta akan memberatkan rakyat di tengah pandemi Covid-19.
"Ini adalah program yang tidak tepat waktu. PKS menolak program-program pemerintah yang hanya akan memberatkan rakyat yang tengah menderita, baik secara kesehatan maupun ekonomi sekarang ini," ujar Mulyanto, Rabu (2/9).
Menurut Mulyanto, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Senin (31/9), Dirut Pertamina, Nicke Widyawati, menyampaikan rencana penghapusan BBM jenis Premium dan Pertalite. Nicke menilai saat ini terjadi penurunan permintaan Premium dan terjadi peningkatan permintaan Pertalite dan Pertamax selama tahun 2020, termasuk pada masa pandemi sekalipun.
"Yang saya amati di lapangan, permintaan terhadap Premium itu tetap tinggi. Yang terjadi bukanlah permintaan yang turun, tetapi supply yang dibatasi," kata Mulyanto.
Lanjut Mulyanto, kalau supply dilepas, tanpa kontrol ketat, permintaan pasti akan naik. Karena pada prinsipnya masyarakat masih membutuhkan BBM yang murah. Mengingat tingkat ekonomi dan daya beli masyarakat masih sebatas itu. Namun ia mendukung upaya Pertamina menghadirkan BBM ramah lingkungan sebagaimana yang diatur dalam Paris Agreement 2015.
"Standar EURO 4, serta Permen KLHK No. 20 tahun 2017 terkait dengan BBM bersih. Tapi pelaksanaan ketentuan itu tidak bisa serta-merta diterapkan di Indonesia," jelasnya.
Sambung Mulyanto, ketentuan aturan itu harus dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan daya beli masyarakat. Bukan sekedar latah dan gengsi dengan negara-negara di Eropa yang sudah maju. Logika BBM bersih dan logika BBM murah ini adalah dua hal yang tidak bisa dipertentangkan. Masyarakat juga akan senang menggunakan BBM bersih. Karena akan bermanfaat bukan hanya untuk lingkungan hidup tetapi juga pada mesin kendaraan mereka.
"Tapi masyarakat juga rasional. Kalau harus memilih antara BBM bersih dan BBM murah, di lapangan yang terjadi adalah masyarakat lebih memilih BBM murah," tutup Mulyanto.
Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, dalam kerja Senin lalu menjelaskan Premium dan Pertalite memiliki porsi konsumsi yang paling besar. Misalnya saja di data 22 Agustus 2020, penjualan Premium mencapai 24 ribu kilo liter (KL) dan Pertalite sebesar 51,5 ribu KL. Sedangkan untuk penjualan BBM dengan RON di atas 91 yakni Pertamax dengan RON 92 sebesar 10 ribu KL dan Pertamax Turbo dengan RON 98 sebesar 700 KL.
"Oleh karena itu kita perlu mendorong bagaimana konsumen yang mampu beralih ke BBM ramah lingkungan," tutur Nicke.
Di sisi lain, dia mengatakan jenis BBM yang dijual di Indonesia lebih banyak dari negara lain. Di Indonesia untuk gasoline saja ada enam jenis dan di negara lain hanya 2-3 jenis.
Lebih lanjut Nicke mengatakan ada tujuh negara di dunia termasuk Indonesia yang masih menggunakan BBM dengan RON di bawah 90 di antaranya Bangladesh, Kolombia, Mesir, Mongolia, Ukraina, dan Uzbekistan. "Jadi itu alasan kenapa kita perlu mereview kembali varian BBM ini," jelas Nicke.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi sudah pernah mengutarakan tentang bahan bakar jenis Premium yang kualitasnya sudah tidak layak jual. Setidaknya di Jakarta.
Lebih lanjut, ia menilai bahwa harga BBM yang ditawarkan Pertamina kepada masyarakat terlalu tinggi bila dibandingkan dengan kualitas yang dimiliki. "Dibandingkan dengan harganya, kualitas BBM di Indonesia tidak setara dengan harganya. Bahkan negara tetangga harga dan kualitas lebih bagus," katanya.
Masyarakat Indonesia saat ini tampaknya masih bergulat dengan kebutuhan hidupnya. Daya beli masyarakat yang masih rendah membuat pemulihan ekonomi tidak bisa berjalan cepat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani memproyeksikan, pemulihan ekonomi belum dapat memberikan hasil maksimal hingga semester pertama tahun depan. "Sehingga, semester 1 tahun depan, tidak bisa diasumsikan ada pemulihan yang fully power," ucapnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Rabu (2/9).
Sri menambahkan, pemulihan ekonomi di skala Indonesia ataupun global akan sangat bergantung pada situasi pada semester kedua tahun depan. Khususnya terkait pelaksanaan vaksinasi yang bisa dilakukan ke banyak masyarakat. Faktor inilah yang akan memberikan pengaruh seberapa tinggi tingkat pemulihan sepanjang 2021.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021, pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021 dalam rentang 4,5 persen sampai 5,5 persen.
Selain keberhasilan penanganan Covid-19, Sri menambahkan, faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi tahun depan adalah dukungan ekspansi fiskal dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Di sisi lain, keberhasilan reformasi yang bisa mengembalikan kepercayaan diri dunia usaha, sehingga bisa meningkatkan produktivitas.
Iklim investasi dan pemulihan ekonomi global yang membaik juga disebutkan Sri sebagai faktor penentu kondisi ekonomi domestik tahun depan. Situasi tahun ini turut menjadi penentu pemulihan ekonomi pada 2021. Kemenkeu memperkirakan, pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020 dapat tumbuh di kisaran minus 1,1 persen sampai 0,2 persen.
Sri mengatakan, batas bawah dari proyeksi tersebut menggambarkan kemungkinan ekonomi mengalami kontraksi pada kuartal ketiga. "Dan, kuartal keempat masih dalam zona sedikit di bawah netral," katanya.
Sedangkan, Sri menambahkan, batas atas dari proyeksi (0,2 persen) mengasumsikan akan adanya pemulihan pada kuartal ketiga dan keempat. Khususnya untuk mengompensasi kontraksi dalam pada kuartal kedua yang mencapai minus 5,32 persen.